Rabu, 21 Mei 2014

KLASIFIKASI ILMU DALAM KONTEKS FILSAFAT ISLAM


A. Pendahuluan

Manusia merupakan suatu makhluk yang memiliki berbagai potensi untuk memperoleh ilmu. Dimana segenap potensi tersebut tumbuh dan berkembang dengan metode-metode tertentu, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang diperoleh pun berbeda-beda. Akibat dari perbedaan itu maka muncullah upaya untuk melakukan pengklasifikasian terhadap ilmu.

Proses pengklasifikasian ilmu yang berawal dari ranah filsafat Islam akan dapat dipahami sesuai dengan metode dan landasan yang berlaku di dalam Islam itu sendiri. Metode dan landasan yang berlaku tersebut merupakan karakteristik tersendiri dalam kajian keilmuan Islam. Sehingga dari segi katagori wilayah, akan terlihat jelas perbedaan antara kajian keilmuan timur dengan keilmuan barat.

Konsep ilmu keislaman yang berlaku dalam realita kehidupan, secara filosofis akan memberikan pengaruh yang sangat siknifikan terhadap keyakinan manusia yang ada di dalamnya. Sehingga aktualisasi dari berbagai konsep, secara berkesinambungan akan melahirkan tingkatan keilmuan yang lebih dekat dengan kesempurnaan.

B. Makna Klasifikasi Ilmu

Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kamus besar bahasa Indonesia, klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Menurut Towa Hamakonda dan Tairas, klasifikasi adalah pengelompokkan yang sistematis pada sejumlah objek dan gagasan ke dalam golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama.[1] Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). Menurut Mohammad Hatta, ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan, suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.[2]

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dimaknai bahwa ilmu adalah sesuatu bagian yang perlu diklasifikasikan, agar segenab ruang lingkupnya dapat ditindaklanjuti dengan baik sesuai dengan tingkatan epistimologi yang digunakan. Dalam hal ini, kesejatian tindakan seseorang berawal dari ilmu apa yang ia pelajari, sehingga dapat dikatakan bahwa kesesuian ilmu dengan setiap masalah akan dapat menghasilkan solusi terbaik. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam malakukan pengklasifikasian ilmu, potensi epistimologi (wahyu, indera, akal, dan hati) yang ada akan mempengaruhinya. Sehingga klasifikasi ilmu yang dihasilkan tersebut akan lebih efektif untuk dipelajari.

C. Klasifikasi Ilmu dalam Konteks Filsafat Islam

Membahas konteks ialah sama halnya dengan membahas latar belakang, kerangka, lingkungan, situasi dan kondisi.[3] Sehingga klasifikasi ilmu dalam konteks filsafat Islam yang akan dibahas dalam makalah ini ialah berkenaan dengan pembagian dan penyusunan kerangka ilmu seperti yang telah diberlakukan di dalam berbagai pemikiran keislaman, mulai dari awal kemunculan, perkem-bangan, kejayaan, kemunduran, sampai kepada masa sekarang.

Pada bagian ini, untuk mengetahui bagaimana klasifikasi ilmu dalam konteks filsafat islam, maka penulis berusaha untuk menelusuri beberapa catatan epistimologi yang telah diuraikan oleh para filsuf Islam, terutama dalam melahirkan klasifikasi ilmu, seperti:

1. Klasifikasi ilmu menurut Imam Al-Ghazali [4]

Secara umum, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu:

a. Ilmu Muamalah

Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah. Kemudian pada tatanan implementasinya, ilmu muamalah ini terdiri dari ilmu fardhluain dan ilmu fardhlu kifayah.

Adapun para ulama’, dalam memposisikan ilmu fardhlu ‘ain ialah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misalkan para mutakallimun, berasumsi bahwa ilmu kalam (ilmu tauhid) adalah ilmu fardhluain. Bagi mereka, dengan ilmu kalam seseorang dapat menemukan dan mengetahui ketauhidan Dzat dan sifat Allah. Sementara para Fuqaha’, menyakini pula bahwa ilmu fiqh lah ilmu fardhluain, sebab dengan fiqh seseorang dapat beribadah dan mengetahui perkara halal dan haram, serta mengetahui perkara yang haram dan yang halal dalam bermuamalah.

Pada bagian Ilmu fardhu kifayah, al-Ghazali menyebutnya sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam hal ini juga, al-Ghazali mengolongkannya ilmu fardhu kifayah ini sebagai ilmu yang sangat dibutuhkan terkait dengan kemaslahatan dunia, seperti ilmu kedokteran (al-Thib), matematika (hisab), teknik (shana’at), pertanian (al-falah), pelayaran (al-Hiyakah), politik (al-Siyasah), bekam (al-Hijamah) dan menjahit (al-Khiyath).

b. Ilmu Mukasyafah

Pada bagian ini, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu Mukasyafah adalah puncak dari semua ilmu karena ia berhubungan dengan hati, ruh, jiwa dan pensucian jiwa. Ilmu ini diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati seseorang dan mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan terbukanya cahaya tersebut, maka perkara dapat diselesaikan, didengar, dilihat, dibaca dan membuka hakikat ma’rifat dengan dzatullah subhannahu wa ta’ala.

Ilmu Mukasyafah adalah puncak ilmu yang dimiliki para siddiqun dan muqarrabun. Mereka bisa mengetahui hakekat dan makna kenabian, wahyu, serta lafadznya malaikat, perbuatan setan kepada manusia, cara penampakan malaikat kepada Nabi, cara penyampaian wahyu kepada Nabi, mengetahui seisi langit dan bumi, mengetahui hati dan bercampurnya setan dengan malaikat, mengetahui surga dan neraka, adzab kubur, shirath, mizan, dan hisab. Inilah ilmu yang tidak tertulis di dalam buku dan tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang bisa merasakannya. Di lakukan dengan cara berdzikir dan secara rahasia.

2. Klasifikasi Ilmu Menurut ibnu Khaldun

Ibn Khaldun adalah salah seorang cendekiawan muslim abad pertengahan yang berusaha membuat pembidangan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang. Pembidangan atau klasifikasi ilmu yang dibuat Ibn Khaldun ialah:

a. Ilmu-ilmu Falsafah dan Hikmah

Ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia atau ilmu-ilmu rasioanal tidak terdapat secara khusus pada suatu kelompok penganut agama tertentu, melainkan terdapat pada seluruh penganut-penganut agama secara keseluruhan dan mereka mempunyai persamaan dan persepsi dalam pembahasannya. Ilmu-ilmu itu dinamakan juga ilmu-ilmu falsafah dan hikmah. Selanjutnya Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau ilmu-ilmu falsafah dan hikmah itu dalam empat macam, yaitu:

Pertama logika, yaitu ilmu untuk menghindari kesalahan dalam proses penyusunan fakta-fakta yang ingin diketahui, yang berasal dari berbagai fakta tersedia yang telah diketahui. Faedahnya adalah untuk membedakan antara yang salah dari yang benar berkenaan dengan hal-hal yang dikejar oleh para pengkaji segala yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar ia sampai pada pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan menggunakan akalnya secara maksimal.

Kedua Ilmu Alam, yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang dapat dirasa dengan indera, seperti benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang yang diciptakan, benda-benda angkasa, gerakan alami dan jiwa yang merupakan asal dari gerakan dan lain-lainnya.

Ketiga Metafisika, yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap perkara-perkara di luar alam, yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.

Keempat Studi tentang berbagai ukuran yang dinamakan matematika (Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu pengetahuan, yaitu ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu music, dan astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri, Ibn Khaldun mangatakan bahwa:Ilmu ukur berupa pengakajian tentang ukuran-ukuran secara umum, baik yang terpisah-pisah karena ukuran itu bisa dihitung ataupun yang bersambungan, yang terdiri dari satu dimensi, yaitu titik; atau mempunyai dua dimensi, yaitu permukaan; atau tiga dimensi, yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu dikaji, demikian pula sifat-sifat tumbuhannya”.

Sedangkan ilmu hitung/aritmatika adalah ilmu tentang apa yang terjadi pada angka terpisah, yaitu bilangan dengan memperhatikan ciri-ciri khususnya serta sifat-sifat tambahan yang melekat padanya. Ilmu music adalah pengetahuan mengenai hubungan suara-suara dan melodi-melodi satu sama lainnya serta pengukurannya dengan angka. Ilmu astronomi adalah ilmu yang menetapkan bentuk daerah angkasa, posisi dan jumlah planet dan bintang tertentu, dan dengannya memungkinkan mempelajari semuanya ini dari gerakan benda-benda di langit yang kelihatan terdapat di setiap ruang angkasa, gerakan-gerakannya, proses dan resesinya.

b. Ilmu-ilmu Tradisioanl Syar’iyah

Pada kelompok yang kedua ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada pada kelompok yang pertama, karena pada pembidangan yang kedua ini terdiri dari ilmu-ilmu yang tidak melibatkan akal manusia dalam memperolehnya, di sini tidak ada tempat bagi akal, kecuali untuk menghubungkan persoalan-perosalan detail dengan prinsip-prinsip dasar. Sumber asal ilmu pengetahuan naqli ini secara keseluruhan adalah ajaran kitab suci al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.

Menurut Ibn Khaldun, jenis ilmu-ilmu naqli ini banyak. Sehingga tugas bagi setiap mukallaf untuk mengetahui hukum-hukum yang telah di fardhukan Tuhan kepadanya. Sumber ilmu-ilmu naqli ini adalah Al-Quran dan tafsirnya serta qiraatnya, Ilmu-ilmu hadis dan mata rantai periwayatnya, Ushulul fiqih dan fiqih, Ilmu kalam dan Ilmu Tasawuf.

_____________
[1] Towa Hamakonda dan Tairas. 1999. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 1.
[2] Umar Hapsoro. 2009. Artikel: Pengetahuan dan Ilmu. Http://Umum. Kompasiana. Com. Apload: selasa, 20 Mei 2014. 19:52 Wib. 
[3]   Http://www.sinonimkata.com/sinonim-154961-KONTEKS.html
[4] Http://inpasonline.com/new/ Klasifikasi ilmu menurut Imam al-Ghazali sebagai asas pendidikan Islam. Online: 15 April 2014. 23:48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar