Senin, 27 Juni 2016

FILSAFAT BARAT KONTEMPORER


(Nazari Mahda/311102930)[1]
Edisi Revisi

A.    Pendahuluan
Perkembangan peradaban manusia merupakan suatu hal yang wajar. Suatu kewajaran ini dapat dirasakan secara total ketika manusia telah mampu menyelimuti dirinya dengan kesadaran-kesadaran. Di mana setiap kesadaran tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai tindakan nyata yang sesuai dengan arah perkembangannya. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa suatu peradaban tidak pantas mengalami perkembangan. Suatu peradaban manusia pantasnya adalah mengalami kemunduran ataupun kehancuran. Adapun cara untuk mencapai kemunduran dan kehancuran tersebut sangat mudah. Seorang ataupun sekelompok manusia cukup dengan bermalas-malasan dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan. Berlandaskan pada dua pernyataan di atas, maka ringkasan sederhana ini merupakan salah satu usaha untuk memposisikan diri secara tepat.
Inilah catatan ringkasan dari setiap materi Filsafat Barat Kontemporer yang telah dipelajari selama satu semester di Prodi Ilmu Aqidah. Materi perkuliahan tersebut diajarkan oleh Dr. Husna Amin, M. Hum. Adapun sumber utama materinya merujuk pada salah satu buku yang ditulis oleh Asep Ahmad Hidayat. Bukunya berjudul “Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda”, dan diterbitkan pertama sekali oleh PT. Remaja Rosdakarya-Bandung pada bulan Juli 2006. Rujukan terhadap buku ini didasari oleh adanya pembahasan yang berhubungan dengan sub-materi yang ada dalam silabus matakuliah. Kemudian, penulisannya juga disesuaikan dengan topik yang ada di dalam silabus. Namun, secara khusus tidak lagi membahas biografi para tokoh, tetapi langsung memaparkan konsep yang mereka cetuskan berdasarkan aliran masing-masing. 
B.    Pembahasan 
1.        Status filsafat barat kontemporer
a.      Latar belakang munculnya filsafat barat kontemporer
Istilah filsafat barat kontemporer pertama sekali muncul di Perancis, Jerman, dan Inggris pada abad ke-20. Kemunculannya merupakan suatu bentuk kritik terhadap perkembangan filsafat pada abad modern. Kritikan utama yang dimunculkan adalah dekonstruksi terhadap rasionalisme yang telah begitu didewakan dalam membangun kebudayaan dunia barat. Upaya demokstruksi terhadap rasionalisme yang berlebihan dinilai sangat penting, karena hal tersebut telah menyisihkan seluruh nilai dan norma-norma dalam menjalankan kehidupan. [2]
b.     Karakteristik filsafat barat kontemporer
Berdasarkan materi kuliah kedua yang telah disampaikan oleh Husna Amin pada hari Rabu, 08 Oktober 2014, maka dapat diketahui bahwa filsafat barat kontemporer memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.     Mengagungkan nilai-nilai relativitas dan mini narasi.
2.     Memiliki kecenderungan yang beragam dalam pemikiran.
3.    Mengkritik logosentrisme filsafat moderen yang berusaha menjadikan rasio sebagai instrumen utama.
4.     Berada pada jalur holistik dan dekonstruksi.
5.   Bebas menggunakan teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut original.[3]
c.      Pilar-pilar filsafat barat kontemporer
Menurut Husna Amin, refleksi moralitas filsafat telah melahirkan berbagai apresiasi, respon yang besar dalam sejarah pemikiran, dan menunculkan pilar-pilar filsafat kontemporer, seperti etika, fenomenologi, eksistensialisme, antropologi/filsafat kebudayaan, dan hermeneutika.[4]
           2.        Filsafat analitik
a.      Memahami filsafat bahasa
Menurutnya Asep Ahmad Hidayat, pemahaman terhadap filsafat bahasa dapat dilihat dari pengertian filsafat itu sendiri. Menurutnya filsafat adalah sebagai suatu ilmu dan metode berfikir, sehingga filsafat bahasa pun demikian. Sebagai suatu ilmu, filsafat bahasa ialah kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Sedangkan sebagai suatu metode berfikir, maka filsafat bahasa dapat diartikan sebagai metode berfikir secara mendalam, logis, dan universal mengenai hakikat bahasa.[5]
Selanjutnya Asep Ahmad Hidayat juga berpendapat bahwa objek kajian filsafat bahasa terbagi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek materialnya adalah bahasa itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah pandangan umum yang menyeluruh terhadap objek material yang dilihat dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.[6]
Menurut hemat Asep Ahmad Hidayat, setidaknya terdapat lima metode yang dapat digunakan dalam mempelajari filsafat bahasa, yaitu: pertama, metode historis; melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historigrafi. Kedua, metode sistematis; melalui aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi filsafat bahasa. Ketiga, metode kritis; intensif, baik menentang atau mendukung. Keempat, metode analisis abstrak; memadukan antara analisis logis deduktif dengan analisis induktif. Kelima, metode intuitif; introspeksi intuitif dengan menggunakan simbol-simbol.[7]
Adapun manfaat mempelajarinya ialah dapat menambah pengetahuan baru, bisa berfikir logis, bisa berfikir analitik dan kritis, terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analitik, dan logis, melatih berfikir jernih dan cerdas, serta melatih berfikir objektif.[8]
b.     Relasi filsafat dan bahasa
Menurut Asep Ahmad Hidayat, filsafat dan bahasa memiliki relasi atau hubungan yang sangat erat dan sekaligus merupakan hukum kausalitas yang kehadirannya tidak dapat ditolak. Para ahli filsafat telah menjadikan bahasa sebagai objek perenungan, pembahasan dan penelitian dalam dunia filsafat. Selain dari itu, berbagai kelemahan dalam bahasa juga telah mengerakkan para ahli filsafat untuk melakukan analisis secara mendalam terhadap bahasa. Hal ini kemudian dikenal dengan aliran filsafat analisis bahasa atau filsafat analitik.[9]
c.      Fungsi filsafat terhadap bahasa
Menurut Asep Ahmad Hidayat, hubungan fungsional filsafat terhadap bahasa dapat dipahami bahwa filsafat berfungsi sebagai metode analisis terhadap berbagai problematika kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan hakikat dan makna suatu bahasa; mewarnai pandangan para ahli bahasa dalam mengembangkan teori-teori kebahasaannya menjadi ilmu bahasa atau ilmu sastra; memberikan arah yang relevan antara teori kebahasaan tertentu dengan realitas kehidupan manusia.[10]  
           3.        Beberapa teori dalam filsafat analitik
a.      Atomisme Logis Russell
Konsep atomisme logis Russell yang dijelaskan oleh Asep Ahmad Hidayat di dalam bukunya mencakup beberapa hal yang mencerahkan, yaitu:
Atomisme logis merupakan salah satu teori dalam filsafat analitik yang dinisbatkan kepada Bertrand Russell (1872-1972) dan Ludwig Wittgeinstein (1899-1951). Konsep atomisme logis Russell dapat dipahami melalui tujuan filsafat yang ia cetuskan, yaitu filsafat bertujuan mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan kepada bahasa yang paling padat dan sederhana; menghubungkan antara logika dan matematika melalui analisis logis; dan menganalisis bahasa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar mengenai realitas.[11]
Menurut Russell, atomisme logis berpijak pada bahasa logika. Bahasa logika akan sangat membantu aktivitas analisis bahasa dalam melukiskan hubungan antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Menurut Asep Ahmad Hidayat, sepertinya Russell menginginkan penggunaaan metode ilmiah bagi cara kerja filsafat. Hal ini berdasarkan penegasan Russell bahwa dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidak selayaknya kita menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk juga mengandung makna ganda.[12]
Unsur terkecil dari bahasa adalah proposisi atomis. Suatu proposisi atomis dengan sendirinya mengungkapkan fakta atomis tentang dunia. Suatu kalimat tertentu terdiri dari dua proposisi, yaitu proposisi atomis dan proposisi majemuk. Proposisi atomis terdiri dari fakta-fakta, sedangkan proposisi majemuk merupakan gabungan dari dua proposisi atomis tersebut.[13]       
b.     Wittgenstein I: Meaning Is Picture (makna adalah gambar)
Teori pertama Wittgenstein menyatakan bahwa makna sama dengan gambar. Teori ini berpandangan bahwa terdapat relasi yang sangat erat antara dunia simbol dengan dunia fakta.[14] Bahasa akan bermakna jika dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual.[15]
Menurut Wittgeinstein, perlu adanya bahasa ideal bagi filsafat, agar dapat bermaknanya suatu ungkapan dan terhindar dari penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa logika yang sempurna adalah bahasa yang mengandung aturan tata kalimat terentu, sehingga mampu mencegah ungkapan yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik, serta terbatas keberadaannya. Menurut Wittgeinstein, filsafat berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Apa yang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas, dan apa yang tidak dapat kita bicarakan, hendaknya kita diam.[16]
c.      Positivisme Logis (Neo-Positivisme)
Positivisme Logis ini merupakan suatu aliran yang dikembangkan oleh kelompok Wiener Kreis (Lingkaran Wina) di Austria. Adapun corak pemikirannya yang utama ialah bersifat positif, pasti, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[17] Aliran filsafat ini berlandaskan pada empirisme dan logika modern. Adapun salah satu hal yang paling menonjol adalah penolakannya terhadap filsafat tradisional. Menurut aliran ini, filsafat tradisional menyajikan banyak ungkapan yang melebihi tautologis (ungkapan yang ada dalam logika dan matematika), tetapi tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Terdapat lima asumsi yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, yaitu: realitas objektif, reduksionalisme, asumsi bebas nilai, determinisme, dan logika-empirisme.[18] 
Seluruh pengikut aliran positivisme logis pada dasarnya membatasi filsafat pada epistemologi dan logika. Pembatasan tersebut dilakukan dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi dan menganalisis bahasa.[19] 
d.     Wittgenstein II: Meaning is Use
Wittgeinstein menentang teori pertamanya dengan teori terbaru, yaitu makna adalah penggunaan. Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa. Arti lainya adalah bermaknanya suatu kalimat sangat tergantung pada situasi, tempat dan waktu penggunaan kalimat tersebut. Serta sangat tergantung pula pada aturan penggunaan atau tata permainannya dalam bahasa sehari-hari.[20] Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam sehingga perlu diselidiki bagaimana pemungsian kata kunci dan ekspresi dalam bahasa tersebut.[21]
           4.        Dekonstruksi epistemologi filsafat modern
a.      Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu gerakan pemikiran yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari struktur-struktur yang saling berkaitan. Kaum strukturalis menekankan pencarian terhadap struktur-struktur objektif yang sering tersembunyi. Bagi mereka, dunia hanyalah relasi struktur-struktur yang saling berkaitan dan beraturan secara tetap. Sehingga makna bahasa tentang dunia sangat bergantung pada struktur-struktur tersebut.[22]
Menurut Fedinand Morgin de Saussure (1857-1913), bahan darimana bahasa itu terdiri tidak mempunyai peranan. Persoalan yang terpenting dalam bahasa adalah aturan-aturan yang mengkonstitusinya, susunan unsur-unsur dalam hubungan satu sama lain, serta relasi dan oposisi yang membentuk sistem itu.[23] Demikian pula menurut Levi Strauss, bahasa memiliki keterkaitan antara satu sama lain dan tidak ada pengaruh dari luar. Bahasa dapat diselidiki melalui dua metode, yaitu syinkronik dan diakronik. Serta bahasa sama dengan budaya.[24]
b.     Fenomenologi
Fenomenologi merupakan salah satu aliran pemikiran yang dimunculkan pertama sekali oleh Edmund Husserl (1859-1939). Istilah Fenomenologi berasal dari kata fenomen, yang artinya gejala yang tampak.[25] Berdasarkan identifikasi Merleau Pounty (1908-1961) terhadap fenomenologi Edmund Husserl, maka ia mencirikan fenomenologi sebagai studi filsafat transendental yang menempatkan kembali esensi ke dalam eksistensi, menganggap dunia selalu mendahului segala refleksi, sebagai usaha untuk secara langsung melukiskan pengalaman sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul psikologisnya dan keterangan kausal dari para ilmuwan, sejarawan, atau sosiolog.[26]
c.      Eksistensialisme
Berdasarkan catatan Asep Ahmad Hidayat, eksistensialisme merupakan istilah lain dari filsafat eksistensi. Kata eksistensialisme berawal dari bahasa latin, yaitu existensialisme. Kata existensialisme merupakan gabungan dari kata “ex” dan “sitere”, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan “berdiri dengan keluar dari diri sendiri”. Atau dalam bahasa Jerman disebut dengan Dasein, yang berarti berada disana. Maksudnya adalah berada bagi manusia selalu menempati suatu tempat atau bersatu dengan alam jasmani.[27]
Menurut Asep Ahmad Hidayat, tujuan dari filsafat eksistensialisme ialah mengerti akan realitas seluruhnya, dan untuk menyadari hal yang dimengerti itu. Manusia harus memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri agar dengan demikian ia dapat bereksistensi. Hal ini senada seperti yang dinyatakan oleh Karl Jaspers (1883-1916),[28] bahwa eksistensi ialah berdiri berhadapan dengan transendensi (keluarnya manusia di atas dirinya sendiri dan dunia). Chifer-chifer (tanda-tanda) yang ada dibaca oleh manusia sejauh manusia itu bereksistensi. Eksistensi sama dengan kebebasan yang diraih manusia. Manusia yang bebas menandakan adanya Tuhan.[29]     
d.     Pragmatisme
Pragmatisme merupakan metode filsafat yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Selanjutnya dikembangkan oleh William James (1842-1910).[30] Dilihat dari segi bahasa, kata pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti guna. Secara luas, pargmatisme adalah filsafat yang lebih menekankan pada nilai guna secara pragmatis (praktis).[31] Menurut Charles Sanders Peirce, segala sesuatu perlu ditentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapatkan pengertian tentang objek itu. Kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.[32] Berdasarkan pernyataan tersebut maka William James melanjutkan bahwa pragmatisme adalah istilah lain dari empirisme radikal. Ia merupakan realitas sebagaimana yang kita ketahui.[33]
Menurut pandangan Asep Ahmad Hidayat, kaum yang pragmatis tidak lagi melihat makna sesuatu objek secara statis, melainkan mereka melihatnya secara dinamis dan memberikan reaksi terhadap dirinya sendiri. Makna yang dikandung oleh sesuatu pernyataan dengan sendirinya akan berubah jika seseorang berbuat sesuai dengan makna tersebut.[34]     
e.      Post-Modernisme
Menurut Asep Ahmad Hidayat, post-modernisme merupakan suatu gerakan protes dan ketidakpercayaan terhadap ketangguhan modernisme.[35] Pos-modernisme telah meneruskan alur yang telah ditempuh oleh mazhab Frankfut. Mazhab ini tidak banyak menyeroti distorsi objektivitas ilmu, tetapi lebih banyak mempersoalkan kultus objektivitas yang sebenarnya menjadi sumber distorsi tersebut. Sedangkan pos-modernisme juga demikian. Bagi kaum post-modernisme, konsep kultus objektivitas dalam realitas sosial sangatlah keliru. Konsep ini mereka ganti dengan hermeneutika. Menurut kaum post-modernis, konsep hermeneutika ini menghormati sabjektivitas, objek kajian, peneliti, dan bahkan sabjektivitas pembaca atau pendengar.[36]  
Menurut Jean-Francois Lyorand (1984), ciri-ciri postmodern adalah memiliki keraguan terhadap metanarasi, yaitu teori-teori universal seperti Hegelianisme, Materialisme, Marxisme, Renaisaince, serta Erosentrisme, yang telah banyak menyumbang pemikirannya terhadap bangunan modernisme. Konsep kaum metanarasi ini menyatakan dirinya mampu menyunguhkan penjelasan secara universal tentang berbagai fenomena, dan mensesuaikan fenomena tersebut dengan sistem dan citra dari setiap teori yang ada.[37]
f.      Filsafat Islam
Di dunia Islam, pengetahuan tentang bahasa juga dijadikan sebagai topik pembahasan yang sangat penting, terutama dalam mempelajari dan memahami makna yang terkandung di dalam setiap ayat Al-Qur’an. Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan kitab pedoman yang didalamnya memuat pesan-pesan Tuhan. Umat Islam diwajibkan untuk mempelajari setiap pesan itu, agar kehidupan yang dijalaninya memperoleh ridha dari Tuhan. Namun, ada satu polimik yang selalu melanda umat Islam terkini, yaitu tata ilmu yang mesti dipelajari agar dapat memahami setiap pesan Tuhan yang terdapat di dalam setiap ayat Al-Qur’an. Polimik inilah yang menurut Asep Ahmad Hidayat, telah menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti: Apakah Al-Qur’an itu bahasa manusia ataukah bahasa Tuhan? Apakah bahasa Al-Qur’an itu qadim ataukah hudust? Bagaimana kriteria bahasa yang benar dan bermakna? Bolehkah Al-Qur’an itu ditakwil?, dan lain sebagainya.[38]
Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tersebut telah dijawab dengan baik oleh para ahli-ahli ilmu keislaman, seperti ahli tasawuf, ahli fiqh, ahli kalam, ataupun ahli filsafat. Namun tetap saja masing-masing dari mereka menjawab berdasarkan bidang ilmunya semata, sehingga kesimpulan yang mereka hasilkan pun berbeda-beda. Inilah ilmuan Islam terkini. Katanya saja Islam, sedangkan realitasnya penuh dengan pertengkaran.   
C.    Penutup
Berdasarkan pembahasan yang ringkas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa begitu banyak aliran pemikiran yang telah berkembang di dalam peradaban barat kontemporer. Aliran pemikiran tersebut telah menawarkan berbagai konsep yang sesuai dengan kondisi peradabannya. Setiap konsep baru yang dimunculkan, tetap saja berkaitan dengan konsep sebelumnya. Kaitan tersebut bisa dalam artian mendukung, mengkritik, ataupun menggantinya secara total dengan yang baru. 
Demikianlah pembahasan singkat tentang berbagai sub-materi perkuliahan Filsafat Barat Kontemporer. Segenab kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga bermanfaat.


[1] Mahasiswa Semester Tujuh di Prodi Ilmu Aqidah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 26 Januari 2015.
[2] Husna Amin “Hand Out I”, (Bahan Kuliah, 2014), hal. 1-3.
[3] Husna Amin “Hand Out II”, (Bahan Kuliah, 2014), hal. 4.
[4] Ibid, hal. 4-5.
[5] Hal. 13.
[6] Hal. 15.
[7] Hal. 15-17.
[8] Hal. 18.
[9] Hal. 32.
[10] Hal. 37-38.
[11] Hal. 47-48.
[12] Hal. 49.
[13] Hal. 52-53.
[14] Hal. 56.
[15] Hal. 73.
[16] Hal. 54-55.
[17] Hal. 62.
[18] Hal.63-64.
[19] Hal. 65.
[20] Hal. 76.
[21] Hal. 75.
[22] Hal. 102-104.
[23] Hal. 109.
[24] Hal. 114-115.
[25] Hal. 143.
[26] Hal. 147.
[27] Hal. 177.
[28] Hal. 179.
[29] Hal. 184.
[30] Hal. 187.
[31] Hal. 188.
[32] Hal. 188.
[33] Hal. 188.
[34] Hal. 190.
[35] Hal. 202.
[36] Hal. 210.
[37] Hal. 207.
[38] Hal. 245.