(Nazari
Mahda/311102930)[1]
Edisi Revisi
A.
Pendahuluan
Perkembangan peradaban
manusia merupakan suatu hal yang wajar. Suatu kewajaran ini dapat dirasakan secara
total ketika manusia telah mampu menyelimuti dirinya dengan kesadaran-kesadaran. Di mana setiap kesadaran tersebut dapat dibuktikan melalui berbagai tindakan nyata yang sesuai
dengan arah perkembangannya. Namun, tidak dapat
dipungkiri pula bahwa suatu peradaban tidak pantas mengalami perkembangan. Suatu peradaban manusia pantasnya adalah mengalami kemunduran ataupun kehancuran. Adapun
cara untuk mencapai kemunduran dan kehancuran tersebut sangat mudah. Seorang ataupun sekelompok
manusia cukup dengan bermalas-malasan dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan. Berlandaskan pada dua pernyataan di atas, maka ringkasan sederhana ini merupakan
salah satu usaha untuk memposisikan diri secara tepat.
Inilah catatan ringkasan
dari setiap materi Filsafat Barat Kontemporer yang telah dipelajari selama
satu semester di Prodi Ilmu Aqidah. Materi perkuliahan tersebut diajarkan oleh
Dr. Husna Amin, M. Hum. Adapun sumber utama materinya merujuk pada salah satu buku
yang ditulis oleh Asep Ahmad Hidayat. Bukunya berjudul “Filsafat Bahasa:
Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda”, dan diterbitkan pertama sekali
oleh PT. Remaja Rosdakarya-Bandung pada bulan Juli 2006. Rujukan terhadap buku
ini didasari oleh adanya pembahasan yang berhubungan dengan sub-materi yang ada dalam silabus matakuliah. Kemudian,
penulisannya juga disesuaikan dengan topik yang ada di dalam silabus. Namun, secara khusus tidak lagi membahas biografi para tokoh, tetapi langsung
memaparkan konsep yang mereka cetuskan berdasarkan aliran masing-masing.
B.
Pembahasan
1. Status filsafat barat kontemporer
1. Status filsafat barat kontemporer
a. Latar
belakang munculnya filsafat barat kontemporer
Istilah filsafat barat kontemporer
pertama sekali muncul di Perancis, Jerman, dan Inggris pada abad ke-20.
Kemunculannya merupakan suatu bentuk kritik terhadap perkembangan filsafat pada abad
modern. Kritikan utama yang dimunculkan adalah dekonstruksi terhadap rasionalisme
yang telah begitu didewakan dalam membangun kebudayaan dunia barat.
Upaya demokstruksi terhadap rasionalisme yang berlebihan dinilai sangat penting, karena hal tersebut telah
menyisihkan seluruh nilai dan norma-norma dalam menjalankan kehidupan. [2]
b. Karakteristik
filsafat barat kontemporer
Berdasarkan materi kuliah kedua yang
telah disampaikan oleh Husna Amin pada hari Rabu, 08 Oktober 2014, maka dapat diketahui bahwa filsafat barat kontemporer memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Mengagungkan
nilai-nilai relativitas dan mini narasi.
2. Memiliki
kecenderungan yang beragam dalam pemikiran.
3. Mengkritik
logosentrisme filsafat moderen yang berusaha menjadikan rasio sebagai instrumen
utama.
4. Berada
pada jalur holistik dan dekonstruksi.
5. Bebas
menggunakan teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut original.[3]
c. Pilar-pilar
filsafat barat kontemporer
Menurut Husna Amin, refleksi moralitas
filsafat telah melahirkan berbagai apresiasi, respon yang besar dalam sejarah
pemikiran, dan menunculkan pilar-pilar filsafat kontemporer, seperti etika, fenomenologi,
eksistensialisme, antropologi/filsafat kebudayaan, dan hermeneutika.[4]
2.
Filsafat
analitik
a. Memahami
filsafat bahasa
Menurutnya
Asep Ahmad Hidayat, pemahaman terhadap filsafat bahasa dapat dilihat dari
pengertian filsafat itu sendiri. Menurutnya filsafat adalah sebagai suatu ilmu
dan metode berfikir, sehingga filsafat bahasa pun demikian. Sebagai suatu
ilmu, filsafat bahasa ialah kumpulan hasil pikiran para filosof mengenai
hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan
menggunakan metode tertentu. Sedangkan sebagai suatu metode berfikir, maka
filsafat bahasa dapat diartikan sebagai metode berfikir secara mendalam, logis,
dan universal mengenai hakikat bahasa.[5]
Selanjutnya
Asep Ahmad Hidayat juga berpendapat bahwa objek kajian filsafat bahasa terbagi
dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek materialnya adalah bahasa itu
sendiri, sedangkan objek formalnya adalah pandangan umum yang menyeluruh
terhadap objek material yang dilihat dari aspek ontologi, epistemologi dan
aksiologi.[6]
Menurut
hemat Asep Ahmad Hidayat, setidaknya terdapat lima metode yang dapat digunakan dalam
mempelajari filsafat bahasa, yaitu: pertama, metode historis; melalui tahapan
heuristik, kritik, interpretasi, dan historigrafi. Kedua, metode sistematis;
melalui aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi filsafat bahasa. Ketiga, metode
kritis; intensif, baik menentang atau mendukung. Keempat, metode analisis
abstrak; memadukan antara analisis logis deduktif dengan analisis induktif.
Kelima, metode intuitif; introspeksi intuitif dengan menggunakan simbol-simbol.[7]
Adapun
manfaat mempelajarinya ialah dapat menambah pengetahuan baru, bisa berfikir
logis, bisa berfikir analitik dan kritis, terlatih untuk menyelesaikan masalah
secara kritis, analitik, dan logis, melatih berfikir jernih dan cerdas, serta melatih
berfikir objektif.[8]
b. Relasi
filsafat dan bahasa
Menurut Asep Ahmad Hidayat, filsafat dan
bahasa memiliki relasi atau hubungan yang sangat erat dan sekaligus merupakan
hukum kausalitas yang kehadirannya tidak dapat ditolak. Para ahli filsafat
telah menjadikan bahasa sebagai objek perenungan, pembahasan dan penelitian
dalam dunia filsafat. Selain dari itu, berbagai kelemahan dalam bahasa juga
telah mengerakkan para ahli filsafat untuk melakukan analisis secara mendalam
terhadap bahasa. Hal ini kemudian dikenal dengan aliran filsafat analisis
bahasa atau filsafat analitik.[9]
c. Fungsi
filsafat terhadap bahasa
Menurut
Asep Ahmad Hidayat, hubungan fungsional filsafat terhadap bahasa dapat dipahami bahwa
filsafat berfungsi sebagai metode analisis terhadap berbagai problematika
kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan hakikat dan makna suatu bahasa; mewarnai
pandangan para ahli bahasa dalam mengembangkan teori-teori kebahasaannya
menjadi ilmu bahasa atau ilmu sastra; memberikan arah yang relevan antara teori
kebahasaan tertentu dengan realitas kehidupan manusia.[10]
3.
Beberapa
teori dalam filsafat analitik
a. Atomisme
Logis Russell
Konsep
atomisme logis Russell yang dijelaskan oleh Asep Ahmad Hidayat di dalam bukunya
mencakup beberapa hal yang mencerahkan, yaitu:
Atomisme
logis merupakan salah satu teori dalam filsafat analitik yang dinisbatkan
kepada Bertrand Russell (1872-1972) dan Ludwig Wittgeinstein (1899-1951).
Konsep atomisme logis Russell dapat dipahami melalui tujuan filsafat yang ia
cetuskan, yaitu filsafat bertujuan mengembalikan seluruh ilmu pengetahuan
kepada bahasa yang paling padat dan sederhana; menghubungkan antara logika dan
matematika melalui analisis logis; dan menganalisis bahasa untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar mengenai realitas.[11]
Menurut
Russell, atomisme logis berpijak pada bahasa logika. Bahasa logika akan sangat
membantu aktivitas analisis bahasa dalam melukiskan hubungan antara struktur
bahasa dengan struktur realitas. Menurut Asep Ahmad Hidayat, sepertinya Russell menginginkan
penggunaaan metode ilmiah bagi cara kerja filsafat. Hal ini berdasarkan
penegasan Russell bahwa dalam percobaan yang dilakukan secara serius,
tidak selayaknya kita menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa
itu selain buruk juga mengandung makna ganda.[12]
Unsur
terkecil dari bahasa adalah proposisi atomis. Suatu proposisi atomis dengan
sendirinya mengungkapkan fakta atomis tentang dunia. Suatu kalimat tertentu
terdiri dari dua proposisi, yaitu proposisi atomis dan proposisi majemuk. Proposisi atomis terdiri dari fakta-fakta, sedangkan proposisi majemuk
merupakan gabungan dari dua proposisi atomis tersebut.[13]
b. Wittgenstein
I: Meaning Is Picture (makna adalah
gambar)
Teori
pertama Wittgenstein menyatakan bahwa makna sama dengan gambar. Teori ini
berpandangan bahwa terdapat relasi yang sangat erat antara dunia simbol dengan dunia
fakta.[14]
Bahasa akan bermakna jika dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan faktual.[15]
Menurut
Wittgeinstein, perlu adanya bahasa ideal bagi filsafat, agar dapat bermaknanya
suatu ungkapan dan terhindar dari penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa logika
yang sempurna adalah bahasa yang mengandung aturan tata kalimat terentu,
sehingga mampu mencegah ungkapan yang tidak bermakna, dan mempunyai simbol
tunggal yang selalu bermakna unik, serta terbatas keberadaannya. Menurut
Wittgeinstein, filsafat berfungsi menunjukkan sesuatu yang tidak dapat
dikatakan dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Apa
yang dapat dikatakan, dapat dikatakan secara jelas, dan apa yang tidak dapat
kita bicarakan, hendaknya kita diam.[16]
c. Positivisme
Logis (Neo-Positivisme)
Positivisme
Logis ini merupakan suatu aliran yang dikembangkan oleh kelompok Wiener Kreis
(Lingkaran Wina) di Austria. Adapun corak pemikirannya yang utama ialah
bersifat positif, pasti, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[17]
Aliran filsafat ini berlandaskan pada empirisme dan logika modern. Adapun
salah satu hal yang paling menonjol adalah penolakannya terhadap filsafat
tradisional. Menurut aliran ini, filsafat tradisional menyajikan banyak
ungkapan yang melebihi tautologis (ungkapan yang ada dalam logika dan
matematika), tetapi tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Terdapat lima asumsi
yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi konstruksi positivisme logis, yaitu:
realitas objektif, reduksionalisme, asumsi bebas nilai, determinisme, dan
logika-empirisme.[18]
Seluruh pengikut aliran positivisme logis pada dasarnya membatasi filsafat pada epistemologi dan logika. Pembatasan tersebut dilakukan dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi dan menganalisis bahasa.[19]
Seluruh pengikut aliran positivisme logis pada dasarnya membatasi filsafat pada epistemologi dan logika. Pembatasan tersebut dilakukan dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi dan menganalisis bahasa.[19]
d. Wittgenstein
II: Meaning is Use
Wittgeinstein menentang teori pertamanya
dengan teori terbaru, yaitu makna adalah penggunaan. Makna sebuah kata tergantung
penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung penggunaannya
dalam bahasa. Arti lainya adalah bermaknanya suatu kalimat sangat tergantung
pada situasi, tempat dan waktu penggunaan kalimat tersebut. Serta sangat
tergantung pula pada aturan penggunaan atau tata permainannya dalam bahasa
sehari-hari.[20]
Penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat beragam sehingga perlu
diselidiki bagaimana pemungsian kata kunci dan ekspresi dalam bahasa tersebut.[21]
4.
Dekonstruksi
epistemologi filsafat modern
a. Strukturalisme
Strukturalisme adalah suatu gerakan pemikiran
yang memandang seluruh realitas sebagai keseluruhan yang terdiri dari
struktur-struktur yang saling berkaitan. Kaum strukturalis menekankan pencarian
terhadap struktur-struktur objektif yang sering tersembunyi. Bagi mereka, dunia
hanyalah relasi struktur-struktur yang saling berkaitan dan beraturan secara
tetap. Sehingga makna bahasa tentang dunia sangat bergantung pada struktur-struktur
tersebut.[22]
Menurut Fedinand Morgin de Saussure
(1857-1913), bahan darimana bahasa itu terdiri tidak mempunyai peranan.
Persoalan yang terpenting dalam bahasa adalah aturan-aturan yang
mengkonstitusinya, susunan unsur-unsur dalam hubungan satu sama lain, serta relasi
dan oposisi yang membentuk sistem itu.[23] Demikian
pula menurut Levi Strauss, bahasa memiliki keterkaitan antara satu sama lain
dan tidak ada pengaruh dari luar. Bahasa dapat diselidiki melalui dua metode,
yaitu syinkronik dan diakronik. Serta bahasa sama dengan
budaya.[24]
b. Fenomenologi
Fenomenologi merupakan salah satu aliran
pemikiran yang dimunculkan pertama sekali oleh Edmund Husserl (1859-1939). Istilah
Fenomenologi berasal dari kata fenomen, yang artinya gejala yang tampak.[25]
Berdasarkan identifikasi Merleau Pounty (1908-1961) terhadap fenomenologi
Edmund Husserl, maka ia mencirikan fenomenologi sebagai studi filsafat
transendental yang menempatkan kembali esensi ke dalam eksistensi, menganggap
dunia selalu mendahului segala refleksi, sebagai usaha untuk secara langsung
melukiskan pengalaman sebagaimana adanya, tanpa memperhatikan asal-usul
psikologisnya dan keterangan kausal dari para ilmuwan, sejarawan, atau
sosiolog.[26]
c. Eksistensialisme
Berdasarkan catatan Asep Ahmad Hidayat,
eksistensialisme merupakan istilah lain dari filsafat eksistensi. Kata
eksistensialisme berawal dari bahasa latin, yaitu existensialisme. Kata existensialisme
merupakan gabungan dari kata “ex” dan
“sitere”, yang dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan “berdiri dengan keluar dari diri sendiri”. Atau dalam bahasa
Jerman disebut dengan Dasein, yang
berarti berada disana. Maksudnya
adalah berada bagi manusia selalu menempati suatu tempat atau bersatu dengan
alam jasmani.[27]
Menurut Asep Ahmad Hidayat, tujuan dari filsafat
eksistensialisme ialah mengerti akan realitas seluruhnya, dan untuk menyadari
hal yang dimengerti itu. Manusia harus memiliki pengetahuan tentang dirinya
sendiri agar dengan demikian ia dapat bereksistensi. Hal ini senada seperti
yang dinyatakan oleh Karl Jaspers (1883-1916),[28] bahwa
eksistensi ialah berdiri berhadapan dengan transendensi (keluarnya manusia di
atas dirinya sendiri dan dunia). Chifer-chifer (tanda-tanda) yang ada dibaca
oleh manusia sejauh manusia itu bereksistensi. Eksistensi sama dengan kebebasan
yang diraih manusia. Manusia yang bebas menandakan adanya Tuhan.[29]
d. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan metode filsafat
yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Selanjutnya dikembangkan
oleh William James (1842-1910).[30]
Dilihat dari segi bahasa, kata pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa
Yunani) yang berarti guna. Secara luas, pargmatisme adalah filsafat yang lebih
menekankan pada nilai guna secara pragmatis (praktis).[31]
Menurut Charles Sanders Peirce, segala sesuatu perlu ditentukan apa akibatnya,
apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapatkan pengertian
tentang objek itu. Kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan
konsep objek tersebut.[32]
Berdasarkan pernyataan tersebut maka William James melanjutkan bahwa
pragmatisme adalah istilah lain dari empirisme radikal. Ia merupakan realitas
sebagaimana yang kita ketahui.[33]
Menurut pandangan Asep Ahmad Hidayat,
kaum yang pragmatis tidak lagi melihat makna sesuatu objek secara statis,
melainkan mereka melihatnya secara dinamis dan memberikan reaksi terhadap
dirinya sendiri. Makna yang dikandung oleh sesuatu pernyataan dengan sendirinya
akan berubah jika seseorang berbuat sesuai dengan makna tersebut.[34]
e. Post-Modernisme
Menurut Asep Ahmad Hidayat, post-modernisme
merupakan suatu gerakan protes dan ketidakpercayaan terhadap ketangguhan
modernisme.[35]
Pos-modernisme telah meneruskan alur yang telah ditempuh oleh mazhab Frankfut. Mazhab ini tidak banyak
menyeroti distorsi objektivitas ilmu, tetapi lebih banyak mempersoalkan kultus
objektivitas yang sebenarnya menjadi sumber distorsi tersebut. Sedangkan pos-modernisme
juga demikian. Bagi kaum post-modernisme, konsep kultus objektivitas dalam
realitas sosial sangatlah keliru. Konsep ini mereka ganti dengan hermeneutika.
Menurut kaum post-modernis, konsep hermeneutika ini menghormati sabjektivitas, objek
kajian, peneliti, dan bahkan sabjektivitas pembaca atau pendengar.[36]
Menurut Jean-Francois Lyorand (1984),
ciri-ciri postmodern adalah memiliki keraguan terhadap metanarasi, yaitu
teori-teori universal seperti Hegelianisme,
Materialisme, Marxisme, Renaisaince, serta Erosentrisme, yang telah banyak
menyumbang pemikirannya terhadap bangunan modernisme. Konsep kaum metanarasi
ini menyatakan dirinya mampu menyunguhkan penjelasan secara universal tentang
berbagai fenomena, dan mensesuaikan fenomena tersebut dengan sistem dan citra
dari setiap teori yang ada.[37]
f. Filsafat
Islam
Di dunia Islam, pengetahuan tentang bahasa
juga dijadikan sebagai topik pembahasan yang sangat penting, terutama dalam
mempelajari dan memahami makna yang terkandung di dalam setiap ayat Al-Qur’an.
Bagi umat Islam, Al-Qur’an merupakan kitab pedoman yang didalamnya memuat
pesan-pesan Tuhan. Umat Islam diwajibkan untuk mempelajari setiap pesan itu,
agar kehidupan yang dijalaninya memperoleh ridha dari Tuhan. Namun, ada satu polimik
yang selalu melanda umat Islam terkini, yaitu tata ilmu yang mesti
dipelajari agar dapat memahami setiap pesan Tuhan yang terdapat di dalam setiap
ayat Al-Qur’an. Polimik inilah yang menurut Asep Ahmad Hidayat, telah
menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti: Apakah Al-Qur’an itu bahasa manusia
ataukah bahasa Tuhan? Apakah bahasa Al-Qur’an itu qadim ataukah hudust? Bagaimana
kriteria bahasa yang benar dan bermakna? Bolehkah Al-Qur’an itu ditakwil?, dan
lain sebagainya.[38]
Pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan tersebut telah dijawab dengan baik oleh para ahli-ahli ilmu keislaman, seperti ahli
tasawuf, ahli fiqh, ahli kalam, ataupun ahli filsafat. Namun tetap saja
masing-masing dari mereka menjawab berdasarkan bidang ilmunya semata, sehingga
kesimpulan yang mereka hasilkan pun berbeda-beda. Inilah ilmuan Islam terkini. Katanya saja Islam, sedangkan realitasnya penuh dengan pertengkaran.
C.
Penutup
Berdasarkan
pembahasan yang ringkas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa begitu banyak
aliran pemikiran yang telah berkembang di dalam peradaban barat kontemporer.
Aliran pemikiran tersebut telah menawarkan berbagai konsep yang sesuai dengan
kondisi peradabannya. Setiap konsep baru yang dimunculkan, tetap saja berkaitan
dengan konsep sebelumnya. Kaitan tersebut bisa dalam artian mendukung,
mengkritik, ataupun menggantinya secara total dengan yang baru.
Demikianlah
pembahasan singkat tentang berbagai sub-materi perkuliahan Filsafat Barat
Kontemporer. Segenab kritikan dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga
bermanfaat.
[1] Mahasiswa Semester Tujuh
di Prodi Ilmu Aqidah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh. 26 Januari
2015.
[2] Husna Amin “Hand Out I”, (Bahan Kuliah, 2014), hal. 1-3.
[3] Husna Amin “Hand Out II”, (Bahan Kuliah, 2014), hal.
4.
[4] Ibid, hal. 4-5.
[5] Hal. 13.
[6] Hal. 15.
[7] Hal. 15-17.
[8] Hal. 18.
[9] Hal. 32.
[10] Hal. 37-38.
[11] Hal. 47-48.
[12] Hal. 49.
[13] Hal. 52-53.
[14] Hal. 56.
[15] Hal. 73.
[16] Hal. 54-55.
[17] Hal. 62.
[18] Hal.63-64.
[19] Hal. 65.
[20] Hal. 76.
[21] Hal. 75.
[22] Hal. 102-104.
[23] Hal. 109.
[24] Hal. 114-115.
[25] Hal. 143.
[26] Hal. 147.
[27] Hal. 177.
[28] Hal. 179.
[29] Hal. 184.
[30] Hal. 187.
[31] Hal. 188.
[32] Hal. 188.
[33] Hal. 188.
[34] Hal. 190.
[35] Hal. 202.
[36] Hal. 210.
[37] Hal. 207.
teerus menulis...jangan berheenti...jadilah insan kreatif dan inovatif untuk masa depan gemilang
BalasHapus