Rabu, 26 November 2014

Atomisme Logis Russel

 [Dipresentasikan oleh Nazari Mahda, Maghfirah Nuryanti, dan Nurul Ilmi]

A.    Pendahuluan
     Perkembangan filsafat pada abad ke XX ditandai dengan munculnya sebuah corak baru yang mencoba mendekonstruksikan epistemologi dari paham-paham filsafat di abad modern. Salah satu aliran yang terpenting dan berpengaruh pada abad ini adalah filsafat analitis.  Salah satu teori yang dikaji dalam filsafat analitik ialah atomisme logis yang dipelopori oleh Bertrand Russell pada abad XX.
     Atomisme logis yang berpusat di Inggris ini telah dirintis oleh G.E. Moore (1873-1958), Bertrand Russell (1872-1979), dan Ludwid Wittgenstein (1889-1951). Istilah atomisme logis ini pertama kali dikemukakan oleh Bertrand Russell dalam suatu artikelnya yang dimuat dalam Contemporary British Philosophy yang terbit pada tahun 1924. Nama atomisme logis yang digunakan oleh Bertrand Russell menunjukkan pengaruh dari David Hume dalam karyanya An Enguiry Concerning Human Understanding.
     Filsafat analitik berkembang sebagai reaksi atas idealisme yang berkembang di Inggris diawali oleh G.E. Moore, yang kemudian diikuti oleh Russel. Sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat atomisme yang dikembangkan oleh Bertrand Russell  merupakan reaksi keras terhadap aliran idealisme.
     Perkembangan pemikiran atomisme logis banyak dipengaruhi oleh F.H. Bradley, dan G. E. Moore. Menurut Bradley, kelemahan empirisme psikologis terletak pada pencapaian kebenaran yang hanya bekerja dengan ide-ide dan bukan berdasarkan pada suatu putusan atau keterangan-keterangan. Dasar inilah yang kemudian diangkat oleh Russell dalam prinsip-prinsip analisisnya, yaitu yang berdasarkan pada suatu putusan. Sedangkan Moore memberikan analisis proposisi filsafat berdasarkan akal sehat. Bagi Moore, bahasa sehari-hari telah memadai untuk menganalisis persoalan kefilsafatan. Inilah yang menyebabkan Bertrand Russell mencari kebenaran melalui penggunaan analisis dan sintesa logis. Sehingga menurutnya pencapaian kebenaran dapat dilakukan dengan mengajukan alasan-alasan yang apriori yang tepat. Dan dilanjutkan dengan pengamatan empiris melalui indera (aposteriori).

A.    Riwayat Hidup Bertrand Russell (1872-1970)
     Bertrand William Russel lahir di Monmouthshire, Inggris, 18 Mei 1872, dari keluarga bangsawan. Sedangkan meninggalnya ialah di wilayah Penrhyndeudraeth, Inggris pada tahun 1970  akibat dari influenza parah yang dideritanya. 
     Bertrand William Russel adalah seorang sarjana yang lahir dari lingkungan Universitas Cambridge Inggris. Di Cambrige, Russel belajar matematika dan fisika pada Whitehead. Selama hidupnya, Russel banyak menulis buku tentang filsafat, moral, pendidikan, sejarah, agama dan politik, serta salah satu karya terbesarnya yang berjudul Logika Matematis. Selain itu, Russel juga dikenal sebagai sastrawan, politikus, pejuang perdamaian yang aktif dalam gerakan anti perang dan menentang imperialism-totalitarianism. Russell pernah mengritik keras keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam pada tahun 1960-1970. Russel juga sering melakukan kampanye pelucutan senjata nuklir. Berkat usaha dan kinerjanya, Bertrand Russell berhasil memperoleh nobel di bidang perdamaian pada 1950.

B.    Pengertian Atomisme Logis
     Atomisme logis adalah suatu faham yang berpandangan bahwa bahasa dapat dipecah menjadi proposisi atomik atau proposisi elementer melalui teknik analisis logis atau analisis bahasa. Setiap proposisi yang ada mengacu pada bagian terkecil dari realitas. Berdasarkan pandangan yang demikian, maka kaum atomisme logis bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan realitas.
     Atomisme sendiri merupakan filsafat alam yang berkembang di beberapa peradaban kuno. Di peradaban Barat, atomisme merujuk pada Leukippos dan Democritus sebagai muridnya pada abad ke-5 SM. Para pengikut atomisme ini mengajukan teori bahwa dunia alami terdiri dari dua benda yang mendasar, saling berlawanan dan tidak dapat dibagi, yaitu atom dan kehampaan. Kata atomisme diturunkan dari kata sifat bahasa Yunani, yaitu atomos yang arti harfiahnya adalah tidak dapat dipenggal. Kata atomos adalah sekawan dari kata kerja bahasa Yunani temnein (memenggal). Atom tidak dapat diisi oleh sesuatu pun. Suatu atom bergerak di kehampaan menuju klaster yang berbeda-beda dan membentuk senyawa-senyawa penghambat. Menurut Aristoteles, atom adalah kenyataan bendawi terkecil dan satuan bangunan yang tidak dapat dimusnahkan.
     Aliran atomisme logis mulai dikenal pada tahun 1918 melalui tulisan-tulisan Bertrand Rusell. Kemudian mencapai puncaknya dalam pemikiran Wittgenstein melalui karyanya yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus. Umumnya para peminat studi pemikiran mengenal konsep atomisme logis ini melalui dua sumber kepustakaan, yaitu hasil karya Bertrand Russell yang berjudul Logic and knowledge dan Tractatus Logico Philosophicus yang ditulis Ludwig Wittgenstein pada saat berkecamuknya perang dunia pertama.

C.    Atomisme Logis Betrand Russel
     Seiring perkembangan pemikiran filsafat di Iggris pada permulaan abad XX, muncul lah suatu pemikiran baru yang disebut sebagai suatu perubahan yang radikal atau sebagai suatu ‘revolusi’, yaitu Atomisme Logis. Perkembangan baru ini membawa perubahan dalam gaya, arah dan corak pemikiran umat manusia. Adapun pusat munculnya gerakan pemikiran filsafat atomisme logis adalah Cambridge, Inggris yang dirintis oleh Bertrand Russell (1872-1970).
     Russell mencoba menggabungkan logika Frege dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Suatu kalimat baru lah disebut sebagai kalimat bermakna, jika berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Awalnya Russell mengikuti garis pemikiran Moore sebagai  upaya untuk menentang pengaruh kaum Hegelian di Inggris dengan bertitik tolak pada akal sehat (common sense), namun dalam perkembangan pemikiran selanjutnya, Russell mengambil jalan yang berbeda dengan Moore. Bagi Russell, penggunaan bahasa biasa dalam filsafat sebagaimana yang diinginkan Moore, tidak lah tepat. Kritikan Russell ini berhasil menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logis. Berdasarkan konsepnya, Russel berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti, sehingga Russel menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik  untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, bahasa ideal dan prinsip dasarnya, yaitu adanya kesepadanan (isomorphisme) antara fakta dengan bahasa dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda.
     Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi yang dimiliki oleh benda-benda. Russel berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa digunakan sebenarnya tidak tepat, karena dunia terdiri dari fakta-fakta atomis dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis lah yang dapat disebut sebagai bahasa yang benar. Berdasarkan konsep ini maka Russel berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kebenaran forma logis dari proposisi tersebut.
Analisis logis berupaya mengajukan alasan a priori yang tepat bagi pernyataan, sedangkan sintesis logis berarti menentukan makna pernyataan atas dasar empirik/pengalaman. Melalui cara ini Russel menerapkan teknik analisis bahasa untuk memecahkan masalah filsafat, namun analisis logis lebih didahulukan daripada sintesis logis, karena teori yang selalu bersifat empirik tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Berdasarkan prinsip pemikiran ini lah, cara yang ditempuh Russell dalam menyusun konsep atomisme logis dapat terketahui dengan jelas. Russel menggunakan titik tolak bahasa logika dalam menjalankan teknik analisis bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan atom-atom logic.

D.    Bahasan Utama yang Terkait dalam Atomisme Logis Russel

     Pembelajaran tentang atomisme logis Russel ini dapat dipahami lebih lanjut melalui beberapa bahasan utama yang sangat berkaitan erat dengan konsep atomisme logis itu sendiri, yaitu:
1.    Bahasan corak logis (logical type)
     Berlandaskan pada bahasa logika, Russel menentukan corak logis yang terkandung dalam suatu ungkapan. Russel melihat bahwa penyimpangan yang terjadi dalam bahasa filsafat lebih banyak ditimbulkan oleh ketidakpahaman terhadap bahasa logika, sehingga akan adanya perbedaan corak logis antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, tetapi memiliki struktur logis yang berbeda. Penjelasan Russel mengenai suatu pengertian atau suatu istilah yang memiliki corak logis yang sama diungkapkannya melalui contoh berikut: 1) A dan B hanya dapat dikatakan memiliki corak logis yang sama, jika unsur A mengandung kesesuaian dengan unsur B, sehingga akibat yang berlaku atau lawan bagi B dapat digantikan pada A. 2) Socrates dan Aristoteles memiliki corak yang sama, sebab “Socrates adalah seorang filosof” dan “Aristoteles seorang filosof”, keduanya mengandung fakta yang sama (sama-sama filsuf). Dua istilah yang dianggap memiliki corak logis yang sama bukan lantaran istilah tersebut dipandang menurut berbagai penafsiran yang mungkin dikenal bagi istilah itu, tetapi yang lebih ditonjolkan adalah aspek logis yang didukung oleh fakta tertentu, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang logis bagi istilah yang diperbandingkan.

2.    Prinsip Kesepadanan
     Menurut pandangan Russel, seluruh pengetahuan hanya dapat difahami apabila diungkapkan dalam bentuk bahasa logika. Keyakinan itu diwujudkannya dalam karya yang disusunnya bersama A.N. Whitehead, yaitu Principia Mathematica. Melalui karya tersebut, dua filosof ini memperlihat-kan bahwa konsep matematika dapat didefinisikan dengan menggunakan istilah logika saja, dalil matematik dapat dibuktikan dengan menggunakan definisi dan prinsip logika.
     Russel berkeyakinan bahwa dengan memadukan prinsip matematik ke dalam prinsip logika, maka ia akan mampu memecahkan persoalan filsafat. Adapun upaya pengungkapkan pengetahuan yang benar ke dalam bentuk pernyataan yang benar berdasarkan prinsip tersebut telah membawa Russel memasuki wilayah analisa bahasa, sehingga kecenderungannya dalam menerapkan metode ilmiah yang bertitik tolak pada prinsip logika ini lah yang merupakan inti dari konsep atomisme logiknya.
    Menurut Russel analisa bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomik) merupakan gambaran unsur paling kecil dari dunia fakta (fakta atomik) atau ada isomorfi (kesepadanan) antara unsur bahasa dan kenyataan. Prinsip isomorfi Russel ini lebih cenderung kearah metafisika, sebab dunia dapat dimisalkan kepada fakta atomik. Sesungguhnya ini lah tujuan utama yang terkandung dalam prinsip isomorfi tersebut.
    Metafisika yang terdapat dalam teori Russel ini merupakan suatu pluralisme radikal, sebab realitas atau dunia fakta itu dipecah menjadi fakta atomik. Corak pandangan metafisik yang didasarkan atas analisa bahasa ini merupakan ciri khas yang menandai kaum atomisme logis dan kelak akan diperkuat oleh Wittgenstein.

3.    Proposisi Atomik dan Proposisi Majemuk
     Pembahasan Russel mengenai proposisi atomik dan proposisi majemuk berkaitan erat dengan upayanya untuk menjelaskan kesepadanan antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Sebab bahasa yang dianggap sebagai keseluruhan dari proposisi atomik tidak hanya mengacu pada fakta atomik yang membentuk realitas, tetapi bahasa itu juga merupakan lahan yang akan dikerjakan melalui teknik analisa logis.
    Setiap proposisi pada hakikatnya mengacu pada dua hal yaitu data inderawi (particularia) yang merupakan hasil persepsi konkrit individual dan sifat atau hubungan (universalia) dari data inderawi. Kebenaran atau kekeliruan proposisi majemuk dapat ditentukan oleh kebenaran atau kekeliruan proposisi atomik yang proposisinya dapat dianalisa.  Sementara kebenaran proposisi atomik dapat ditentukan dengan merujuk pada fakta yang digambarkannya.
    Menurut Russel, suatu proposisi yang menjelaskan suatu fakta atomic dinamakan Proposisi atomik. Proposisi atomik ini merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana, karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk. Misalnya: x adalah yang (ini adalah putih) atau xRy (ini berdiri disamping itu). Setiap proposisi atomik itu mempunyai arti atau makna sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain. Memberikan kata penghubung seperti “dan” atau “atau”, maka kita dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russel mengajukan contoh untuk menjelaskan proposisis atomik dan proposisi majemuk itu sebagai berikut: Socrates adalah seorang warga Athena yang bijaksana. Ini merupakan proposisi majemuk yang terdiri dari dua fakta atomik, yaitu: Socrates adalah seorang warga Athena, dan Socrates adalah seorang yang bijaksana. Kedua proposisi atomik itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang”.
    Menurut Russel, kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi majemuk tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomik yang terdapat didalamnya atau dengan kata lain proposisi majemuk merupakan fungsi kebenaran dari proposisi-proposisi atomik.

Daftar Putaka
Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontempoter Inggris-Jerman. Cet. IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hamersma, Harry. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Cet. Ke V. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma
Mustansyir, Rizal. 2007.  Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peran Para Tokohnya. Cet. Ke II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusuf Lubis, Akhyar. 2014. Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Rabu, 21 Mei 2014

Pengaruh Hereditas dan Lingkungan Terhadap Kehidupan Manusia

Disusun Oleh: Nazari Mahda dan Ali Hanafia [Mahasiswa Ilmu Aqidah UIN Ar-Raniry Banda Aceh]

A. Pendahuluan
Banyak masalah yang muncul di dunia merupakan implementasi dari segenab makhluk hidup, salah satunya ialah manusia. Kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh keturunan dan lingkungan. Dua pengaruh tersebut memiliki perbedaan, baik dari segi dampak ataupun cara untuk mengantisipasinya. Sehingga, secara tidak langsung pengaruh tersebut telah menuntut manusia untuk senantiasa mengetahui, beradaptasi, bersinergi, dan memamfaatkannya sebagai media untuk mengembangkan segenap potensi (indera, akal, dan hati) yang dimilikinya.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka terdapat beberapa masalah yang akan penulis bahas secara sitematis dalam makalah yang sederhana ini, yaitu: Apa makna pengaruh, hereditas, lingkungan, kehidupan dan manusia; Mengapa hereditas dan lingkungan mempengaruhi kehidupan manusia; Bagaimana keadaan hidup manusia ketika telah dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan.

B.    Makna Pengaruh, Hereditas, Lingkungan, Kehidupan dan Manusia
Sebelum membahas lebih lanjut tentang berbagai pengaruh hereditas dan lingkungan terhadap kehidupan manusia, maka ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu makna dari masing-masing kata tersebut.
1.      Makna Pengaruh
Makna kata pengaruh menurut kamus besar bahasa indonesia adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.[1]
2.      Makna Hereditas
Kata hereditas bermakna pewarisan sifat pada makhluk hidup,[2] baik secara biologis melalui gen atau secara sosial melalui pewarisan gelar.[3]
3.      Makna Lingkungan
Istilah lingkungan bermakna sesuatu yang berada di luar atau sekitar mahluk hidup. Para ahli lingkungan mendefinisikan bahwa lingkungan adalah suatu sistem yang kompleks dimana berbagai faktor berpengaruh secara timbal-balik antara satu sama lain.[4] Adapun berdasarkan catatan wikipedia, lingkungan adalah kombinasi antara komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).[5]
4.      Makna Kehidupan
Kehidupan adalah ciri yang membedakan objek yang memiliki isyarat dan proses penopang diri dengan objek yang tidak memilikinya, baik karena fungsi-fungsi tersebut telah mati atau karena mereka tidak memiliki fungsi. Dalam filsafat dan agama, konsepsi kehidupan dan sifatnya bervariasi. Keduanya menawarkan interpretasi mengenai bagaimana kehidupan berkaitan dengan keberadaan dan kesadaran.[6]
5.      Makna Manusia
Manusia merupakan salah satu makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk lainnya. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang paling sempurna dikarenakan manusia mempunyai akal pikiran, dan dapat menggunakan akal pikirannya untuk bertindak sesuai dengan etika dan norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, serta mampu berkomitmen dengan nilai-nilai yang ada. Selain memiliki akal pikiran manusia juga memiliki jiwa dan roh yang tidak dapat dipisahkan, dimana jiwa dan roh tersebut terletak di dalam tubuhnya.[7] Manusia mengandung unsur-unsur pokok seperti berada, material, berbadan, hidup, dapat berbicara, makhluk sosial, dan sebagainya.[8]

[1] Http://www.artikata.com/arti-344462-pengaruh.html.
[2] Astutiningsih. 2006. Kamus Biologi Untuk SMA. Cet-1. Jakarta: Kawan Pustaka. Hal. 68.
[3] Http://id.wikipedia.org/wiki/Hereditas.
[4] Http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/10/lingkungan.html.
[5] Http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan
[6] Http://id.wikipedia.org/wiki/Kehidupan. Apload: 23 Mei 2014. 10:19 Wib.
[7] Prianggi Amelasasih. Http:// filsafat. kompasiana. com/ 2013/ 09/ 10/ Hakikat Manusia 590519. Html. Apload: 23 Mei 2014. 10:34 Wib.
[8] Alex lanur ofm. 2008. Logika: selayang pandang. Cet. 23. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 15. 

C.     Penyebab Hereditas dan Lingkungan Mempengaruhi Kehidupan Manusia
Berdasarkan pemahaman terhadap makna dari setiap istilah kata yang terpadu dalam sub bahasan ini, maka dapat dipahami bahwa adanya hereditas dan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia disebabkan oleh ada manusia itu sendiri. Jika seandainya manusia itu tidak ada ataupun terlahir kealam dunia ini, maka tidak akan ada pengaruh hereditas dan lingkungan yang dapat berlaku padanya.
Manusia akan senantiasa hidup secara bersama di suatu tempat. Melalui kebersamaan itulah garis keturunan mereka akan terus mempengaruhi dan anak-anak mereka kelak akan mewarisi bagian-bagian tertentu yang serupa dengan mereka. Adapun tempat yang  mereka duduki atau disebut dengan lingkungan, akan sangat mempengaruhi juga kehidupan generasi-generasi mereka. Hal tersebut dikarenakan generasi mereka akan hidup, meniru, berpikir dan berbuat seperti apa yang mereka lihat dan alami atas segala bentuk kejadian yang ada disekelilingnya.
Para pakar psikologi kotemporer banyak mengadakan penelitian yang bertujuan menentukan pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap perbedaan individu. Beberapa penelitian tersebut berusaha membuktikan pentingnya lingkungan. Namun kesimpulan final yang dicapai oleh para pakar psikologi dari semua hasil penelitian dibidang ini adalah faktor lingkungan dan keturunan berinteraksi bersama dalam menimbulkan perbedaan individu, dan sulit memisahkan pengaruh keduanya secara total. Secara garis besar, ciri-ciri fisik seseorang sangat dekat dengan pengaruh keturunan. Sedangkan secara emosional, hal tersebut lebih merupakan pengaruh dari faktor lingkungan dan kemampuan belajar individu.
Rasulullah saw. juga mengisyaratkan pengaruh keturunan terhadap perilaku manusia dalam sabdanya: “Pilih-pilihlah untuk nuthfah kalian. Nikahilah orang-orang yang sekufu’ (seimbang) dan kawinilah mereka. “(HR Ibnu Majah).[9] Di dalam hadis ini terdapat pelajaran bagi seorang calon suami dalam memilih calon istri dari keturunan yang baik agar nantinya melahirkan keturunan yang baik pula, karena disinilah sebagian besar pembentukan kepribadian terjadi. Memperhatikan faktor lingkungan sosial dan budaya dimana ia hidup, adat kebiasaan, nilai dan prilaku orang tua, cara mereka mendidik, lingkungan teman dan sekolah, sarana informasi yang bermacam-macam, dan dari kejadian dan pengalaman yang dilewatinya dalam kehidupan sehari-hari adalah penting bagi perkembangan karakter dan kepribadian anak.

D.    Keadaan Hidup Manusia yang Dipengaruhi oleh Hereditas dan Lingkungan
Allah swt. dalam al-Quran telah menerangkan kepada kita tentang pengaruh keturunan dalam proses kejadian manusia[10] dan memperlihatkan juga kepentingan-kepentingannya. Al Qur’an mengisahkan juga tentang bagaimana Allah swt. mengutamakan keluarga Ibrahim dari sekalian alam sebagai hasil dari keturunan yang shaleh yang terus turun kepada generasi berikutnya. Al Qur’an juga mengisyaratkan kepada kita baik secara implisit maupun eksplisit tentang keharusan berhati-hati dan cermat memilih istri dan suami. Tetapi dalam waktu bersamaan, Al Qur’an juga menyuruh kita memeperhatikan bagaimana faktor-faktor keturunan seringkali berlainan dan kadang-kadang kehilangan pengaruhnya.[11]
Hal tersebut bermakna bahwa tidak secara keseluruhan juga keturunan dapat mempengaruhi kehidupan. Akan tetapi, Allah swt. memberitahukan kepada kita bahwa lingkungan juga mempunyai pengaruh yang sangat dalam. Pengaruh lingkungan yang baik akan memberikan pengaruhnya pada proses pertumbuhan seorang manusia. Seperti halnya Allah swt. telah menyiapkan seseorang dari keluarga yang shaleh dan mulia,[12] maka akan terbentuklah kepribadian seorang yang shaleh dan mulia juga.
Pengaruh lingkungan terhadap individu sebenarnya telah diawali sejak terjadinya pembuahan. Sejak pembuahan sampai saat kelahiran, lingkungan telah mempengaruhi calon bayi lewat ibunya. Misalnya defisiensi kalsium dalam aliran darah seorang ibu dapat menyebabkan abnormalitas tulang bayi. Setelah kelahiran, pengaruh faktor lingkungan terhadap individu semakin penting dan besar. Proses yang paling berpengaruh setelah masa ini adalah proses belajar (learning) yang menyebabkan perbedaan perilaku individu satu dengan yang lainnya. Apa yang dipelajari dan diajarkan pada seseorang akan sangat menentukan apa dan bagaimana reaksi individu terhadap stimulus yang dihadapinya. Sikap, perilaku, reaksi emosional dan semacamnya merupakan atribut yang dipelajari dari lingkungan. Seorang anak yang diasuh dalam keluarga yang terbiasa menjerit-jerit saat memanggil dan menjerit-jerit pula saat memarahi, maka akan tumbuhlah anak tersebut menjadi anak yang berbicara keras dan kasar. Seorang anak yang selalu ditakut-takuti pada dokter akan menyimpan konsep dokter sebagai ancaman, bukan sebagai penolong.
Lewat proses belajar, pengaruh budaya secara tidak lagsung juga mempengaruhi individu. Standar dan norma sosial yang berlaku pada suatu kelompok budaya tempat individu berada akan menentukan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Norma itulah yang akan menjadi acuan individu dalam berfikir dan berperilaku. Anak yang kerap menonton film kekerasan, apalagi kekerasan itu dilakukan oleh tokoh yang dijagokannya, akan meletakkan kekerasan ke dalam konsepnya mengenai hal yang baik dan dapat diterima, dan kelak pada gilirannya ia akan mampu melakukan kekerasan pada orang lain tanpa rasa bersalah.
Bukankah norma kita terhadap cara berpakaian sudah jauh lebih longgar dari pada sepuluh tahun yang lalu. Hal ini diakibatkan oleh seringnya kita melihat cara berpakaian terbuka aurat didalam film atau oleh orang terkenal di masyarakat kita, seperti pakeannya para penyanyi di televisi. Besarnya peranan masing-masing determinan tersebut tidaklah sama dalam membentuk perbedaan bagi berbagai sifat A, misalnya, mungkin faktor keturunan lebih berperanan sedangkan bagi pembentukan sifat B faktor lingkunganlah yang lebih menentukan.[13]

[9] Http://psikologi brebes jateng. blogspot. com/ 2012/ 02/ pengaruh keturunan dan lingkungan.11. html. Apload: 23 Mei 2014. 12:15 Wib.
[10] Ayat-ayat yang menyebutkan peringatan tersebut seperti dalam Surat Nuh: 13-14, al-Sajdah: 8-9, al-Thaariq: 5-7, al-Insan: 02, al-Najm: 45 – 46, al- Dhariyaat: 49, al-Mu’minun:13-14, al-Infithaar: 7-8, al-Tin: 4, al-Taghabun: 03, dll. (Abd. Majid. 2012. Manusia: Ditinjau dari Aspek Sejarah, Sosial, Budaya dan Agama. Banda Aceh: Ar-Raniry Press. Hal. 57-60).
[11] Ali Abdul Azhim. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al Qur’an. Bandung: CV Rosda. Hal. 117-120.
[12] Ali Abdul Azhim. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al Qur’an,,, Hal. 124.
[13] Saifuddin Azwar. 2004. Pengantar Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 74-76.

E.    Penutup
Berdasarkan makna setiap kata yang telah dijelaskan maka dapat dipahami bahwa melalui adanya pengaruh dari hereditas dan lingkungan, akan muncul berbagai pola pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Masing-masing individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti bahwa, karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan gen dari orang tuanya. Di samping itu, individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungan, baik lingkungan fisik, psikologi, maupun sosial. Setiap pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakan hasil interaksi dari hereditas dan lingkungan.
Demikianlah pembahasan tentang pengaruh hereditas dan lingkungan terhadap kehidupan manusia yang dapat penulis bahas. Jika ada kekurangan dan kesalahan maka penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga bermanfaat.

F. Daftar Pustaka
Astutiningsih. 2006. Kamus Biologi Untuk SMA. Cet-1. Jakarta: Kawan Pustaka.
Azhim, Ali Abdul. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Al Qur’an. Bandung: CV Rosda.
Azwar, Saifuddin. 2004. Pengantar Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lanur, Alex. 2008. Logika: selayang pandang. Cet. 23. Yogyakarta: Kanisius.
Majid, Abd. 2012. Manusia: Ditinjau dari Aspek Sejarah, Sosial, Budaya dan Agama. Banda Aceh: Ar-Raniry Press.
Prianggi Amelasasih. Http://filsafat.kompasiana.com/2013/09/10/Hakikat Manusia 590519. Html.
Http://psikologibrebesjateng.blogspot.com/2012/02/pengaruh keturunan dan lingkungan. 11. html.
Http://www.artikata.com/arti-344462-pengaruh.html.
Http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/10/lingkungan.html.
Http://id.wikipedia.org/wiki.



KLASIFIKASI ILMU DALAM KONTEKS FILSAFAT ISLAM


A. Pendahuluan

Manusia merupakan suatu makhluk yang memiliki berbagai potensi untuk memperoleh ilmu. Dimana segenap potensi tersebut tumbuh dan berkembang dengan metode-metode tertentu, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu yang diperoleh pun berbeda-beda. Akibat dari perbedaan itu maka muncullah upaya untuk melakukan pengklasifikasian terhadap ilmu.

Proses pengklasifikasian ilmu yang berawal dari ranah filsafat Islam akan dapat dipahami sesuai dengan metode dan landasan yang berlaku di dalam Islam itu sendiri. Metode dan landasan yang berlaku tersebut merupakan karakteristik tersendiri dalam kajian keilmuan Islam. Sehingga dari segi katagori wilayah, akan terlihat jelas perbedaan antara kajian keilmuan timur dengan keilmuan barat.

Konsep ilmu keislaman yang berlaku dalam realita kehidupan, secara filosofis akan memberikan pengaruh yang sangat siknifikan terhadap keyakinan manusia yang ada di dalamnya. Sehingga aktualisasi dari berbagai konsep, secara berkesinambungan akan melahirkan tingkatan keilmuan yang lebih dekat dengan kesempurnaan.

B. Makna Klasifikasi Ilmu

Berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kamus besar bahasa Indonesia, klasifikasi adalah penyusunan bersistem dalam kelompok berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Menurut Towa Hamakonda dan Tairas, klasifikasi adalah pengelompokkan yang sistematis pada sejumlah objek dan gagasan ke dalam golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama.[1] Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam). Menurut Mohammad Hatta, ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan, suatu metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.[2]

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dimaknai bahwa ilmu adalah sesuatu bagian yang perlu diklasifikasikan, agar segenab ruang lingkupnya dapat ditindaklanjuti dengan baik sesuai dengan tingkatan epistimologi yang digunakan. Dalam hal ini, kesejatian tindakan seseorang berawal dari ilmu apa yang ia pelajari, sehingga dapat dikatakan bahwa kesesuian ilmu dengan setiap masalah akan dapat menghasilkan solusi terbaik. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam malakukan pengklasifikasian ilmu, potensi epistimologi (wahyu, indera, akal, dan hati) yang ada akan mempengaruhinya. Sehingga klasifikasi ilmu yang dihasilkan tersebut akan lebih efektif untuk dipelajari.

C. Klasifikasi Ilmu dalam Konteks Filsafat Islam

Membahas konteks ialah sama halnya dengan membahas latar belakang, kerangka, lingkungan, situasi dan kondisi.[3] Sehingga klasifikasi ilmu dalam konteks filsafat Islam yang akan dibahas dalam makalah ini ialah berkenaan dengan pembagian dan penyusunan kerangka ilmu seperti yang telah diberlakukan di dalam berbagai pemikiran keislaman, mulai dari awal kemunculan, perkem-bangan, kejayaan, kemunduran, sampai kepada masa sekarang.

Pada bagian ini, untuk mengetahui bagaimana klasifikasi ilmu dalam konteks filsafat islam, maka penulis berusaha untuk menelusuri beberapa catatan epistimologi yang telah diuraikan oleh para filsuf Islam, terutama dalam melahirkan klasifikasi ilmu, seperti:

1. Klasifikasi ilmu menurut Imam Al-Ghazali [4]

Secara umum, Imam al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi dua, yaitu:

a. Ilmu Muamalah

Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah. Kemudian pada tatanan implementasinya, ilmu muamalah ini terdiri dari ilmu fardhluain dan ilmu fardhlu kifayah.

Adapun para ulama’, dalam memposisikan ilmu fardhlu ‘ain ialah sesuai dengan bidangnya masing-masing. Misalkan para mutakallimun, berasumsi bahwa ilmu kalam (ilmu tauhid) adalah ilmu fardhluain. Bagi mereka, dengan ilmu kalam seseorang dapat menemukan dan mengetahui ketauhidan Dzat dan sifat Allah. Sementara para Fuqaha’, menyakini pula bahwa ilmu fiqh lah ilmu fardhluain, sebab dengan fiqh seseorang dapat beribadah dan mengetahui perkara halal dan haram, serta mengetahui perkara yang haram dan yang halal dalam bermuamalah.

Pada bagian Ilmu fardhu kifayah, al-Ghazali menyebutnya sebagai ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam hal ini juga, al-Ghazali mengolongkannya ilmu fardhu kifayah ini sebagai ilmu yang sangat dibutuhkan terkait dengan kemaslahatan dunia, seperti ilmu kedokteran (al-Thib), matematika (hisab), teknik (shana’at), pertanian (al-falah), pelayaran (al-Hiyakah), politik (al-Siyasah), bekam (al-Hijamah) dan menjahit (al-Khiyath).

b. Ilmu Mukasyafah

Pada bagian ini, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu Mukasyafah adalah puncak dari semua ilmu karena ia berhubungan dengan hati, ruh, jiwa dan pensucian jiwa. Ilmu ini diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati seseorang dan mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan terbukanya cahaya tersebut, maka perkara dapat diselesaikan, didengar, dilihat, dibaca dan membuka hakikat ma’rifat dengan dzatullah subhannahu wa ta’ala.

Ilmu Mukasyafah adalah puncak ilmu yang dimiliki para siddiqun dan muqarrabun. Mereka bisa mengetahui hakekat dan makna kenabian, wahyu, serta lafadznya malaikat, perbuatan setan kepada manusia, cara penampakan malaikat kepada Nabi, cara penyampaian wahyu kepada Nabi, mengetahui seisi langit dan bumi, mengetahui hati dan bercampurnya setan dengan malaikat, mengetahui surga dan neraka, adzab kubur, shirath, mizan, dan hisab. Inilah ilmu yang tidak tertulis di dalam buku dan tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang bisa merasakannya. Di lakukan dengan cara berdzikir dan secara rahasia.

2. Klasifikasi Ilmu Menurut ibnu Khaldun

Ibn Khaldun adalah salah seorang cendekiawan muslim abad pertengahan yang berusaha membuat pembidangan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang. Pembidangan atau klasifikasi ilmu yang dibuat Ibn Khaldun ialah:

a. Ilmu-ilmu Falsafah dan Hikmah

Ilmu-ilmu yang sifatnya alamiyah bagi manusia atau ilmu-ilmu rasioanal tidak terdapat secara khusus pada suatu kelompok penganut agama tertentu, melainkan terdapat pada seluruh penganut-penganut agama secara keseluruhan dan mereka mempunyai persamaan dan persepsi dalam pembahasannya. Ilmu-ilmu itu dinamakan juga ilmu-ilmu falsafah dan hikmah. Selanjutnya Ibn Khaldun membagi ilmu-ilmu rasional atau ilmu-ilmu falsafah dan hikmah itu dalam empat macam, yaitu:

Pertama logika, yaitu ilmu untuk menghindari kesalahan dalam proses penyusunan fakta-fakta yang ingin diketahui, yang berasal dari berbagai fakta tersedia yang telah diketahui. Faedahnya adalah untuk membedakan antara yang salah dari yang benar berkenaan dengan hal-hal yang dikejar oleh para pengkaji segala yang ada beserta sifat-sifat tambahannya agar ia sampai pada pembuktian kebenaran mengenai alam semesta dengan menggunakan akalnya secara maksimal.

Kedua Ilmu Alam, yaitu ilmu yang mempelajari substansi elemental yang dapat dirasa dengan indera, seperti benda-benda tambang, tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang yang diciptakan, benda-benda angkasa, gerakan alami dan jiwa yang merupakan asal dari gerakan dan lain-lainnya.

Ketiga Metafisika, yaitu pengkajian yang dilakukan terhadap perkara-perkara di luar alam, yaitu hal-hal yang sifatnya rohani.

Keempat Studi tentang berbagai ukuran yang dinamakan matematika (Ta’limi). Bagian ini mencakup empat ilmu pengetahuan, yaitu ilmu ukur, ilmu hitung, ilmu music, dan astronomi. Tentang ilmu ukur atau geometri, Ibn Khaldun mangatakan bahwa:Ilmu ukur berupa pengakajian tentang ukuran-ukuran secara umum, baik yang terpisah-pisah karena ukuran itu bisa dihitung ataupun yang bersambungan, yang terdiri dari satu dimensi, yaitu titik; atau mempunyai dua dimensi, yaitu permukaan; atau tiga dimensi, yaitu ruang. Ukuran-ukuran itu dikaji, demikian pula sifat-sifat tumbuhannya”.

Sedangkan ilmu hitung/aritmatika adalah ilmu tentang apa yang terjadi pada angka terpisah, yaitu bilangan dengan memperhatikan ciri-ciri khususnya serta sifat-sifat tambahan yang melekat padanya. Ilmu music adalah pengetahuan mengenai hubungan suara-suara dan melodi-melodi satu sama lainnya serta pengukurannya dengan angka. Ilmu astronomi adalah ilmu yang menetapkan bentuk daerah angkasa, posisi dan jumlah planet dan bintang tertentu, dan dengannya memungkinkan mempelajari semuanya ini dari gerakan benda-benda di langit yang kelihatan terdapat di setiap ruang angkasa, gerakan-gerakannya, proses dan resesinya.

b. Ilmu-ilmu Tradisioanl Syar’iyah

Pada kelompok yang kedua ini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ada pada kelompok yang pertama, karena pada pembidangan yang kedua ini terdiri dari ilmu-ilmu yang tidak melibatkan akal manusia dalam memperolehnya, di sini tidak ada tempat bagi akal, kecuali untuk menghubungkan persoalan-perosalan detail dengan prinsip-prinsip dasar. Sumber asal ilmu pengetahuan naqli ini secara keseluruhan adalah ajaran kitab suci al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.

Menurut Ibn Khaldun, jenis ilmu-ilmu naqli ini banyak. Sehingga tugas bagi setiap mukallaf untuk mengetahui hukum-hukum yang telah di fardhukan Tuhan kepadanya. Sumber ilmu-ilmu naqli ini adalah Al-Quran dan tafsirnya serta qiraatnya, Ilmu-ilmu hadis dan mata rantai periwayatnya, Ushulul fiqih dan fiqih, Ilmu kalam dan Ilmu Tasawuf.

_____________
[1] Towa Hamakonda dan Tairas. 1999. Pengantar Klasifikasi Persepuluhan Dewey. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 1.
[2] Umar Hapsoro. 2009. Artikel: Pengetahuan dan Ilmu. Http://Umum. Kompasiana. Com. Apload: selasa, 20 Mei 2014. 19:52 Wib. 
[3]   Http://www.sinonimkata.com/sinonim-154961-KONTEKS.html
[4] Http://inpasonline.com/new/ Klasifikasi ilmu menurut Imam al-Ghazali sebagai asas pendidikan Islam. Online: 15 April 2014. 23:48.

Minggu, 06 April 2014

Problem-problem Epistemologi dalam Filsafat Agama

Latar Belakang Masalah
Keadaan zaman yang terus berubah merupakan masalah yang tidak dapat dihindari oleh segenap makhluk. Masalah-masalah tersebut membutuhkan penye-lesaian yang sehat dari berbagai pihak, terutama oleh manusia yang beragama dan berakal. Melalui dua potensi tersebut, manusia diharapkan mampu menanggapi segala persoalan secara bijak. Kebijakan tersebut baik terhadap masalah dalam kehidupan beragama, sosial, politik, maupun ekonomi. Adapun bijak atau tidak-nya solusi yang diberikan sangatlah tergantung pada seberapa besar pemahaman terhadap agama yang diyakininya.
Berkaitan dengan masalah yang muncul dalam kehidupan beragama, maka telah banyak pula perspektif yang bermunculan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perspektif yang berbeda ini ternyata tidak terlepas daripada metode dan konsep keilmuan yang digunakan. Secara garis besar, metode dan konsep tersebut merujuk pada kemampuan akal, hati, dan pengalaman inderawi. Namun demikian, ketika bersesuai dengan pedoman agama, maka tidak dapat terpungkiri bahwa setiap metode tersebut memiliki kekurangan dan keterbatasan. Akibatnya, kebe-radaan konsep agama senantiasa dijadikan sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan segala persoalan.
Berdasarkan kekurangmampuannya didalam menyelesaikan masalah yang sampai pada taraf tertentu, maka dilakukan lah pengkajian secara radikal, integral, sistematis, dan konprehensif terhadap agama. Hal ini bertujuan agar terperolehnya kepahaman yang utuh terhadap agama dan terselesainya segala masalah yang ada secara baik dan benar. Akibat dari pengkajian ini maka terumuslah konsep epistimologi agama secara sempurna antara potensi yang telah dianugerahkan Tuhan didalam diri manusia dengan petunjuk yang ada di dalam pedoman keagamaan itu sendiri.

Meskipun telah begitu jelasnya ranah keilmuan yang berlaku, tetap saja ada masalah baru yang menghalangi keberadaan dan keberlangsungan didalam-nya. Apa saja masalah-masalah tersebut dan hal apa saja yang melatarbelakangi-nya, sehingga seolah-olah tidak akan ada yang namanya kebenaran yang hakiki. Berikut inilah persoalan tersebut akan penulis bahas secara lebih lanjut berdasarkan sumber-sumber yang berkaitan.

Senin, 27 Januari 2014

Filsafat Bahasa

  
Makalah
PERMAINAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN
Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa

Disusun Oleh:
Kelompok II
                             Nazari Mahda           : 311102948
                             Lukman                     : 311102959
                             Melisa Meina           : 311102954
                             Agustiana                  : 311102930




JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT 
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013

Bab II
Pembahasan
A.    Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein (Kristen Protestan) dan ibunya bernama Leopoldine Kalmus (Katolik). Pada tahun 1906, Wittgenstein belajar teknik di kota Berlin. Namun pada tahun 1908 ia melanjutkan belajar tehnik di kota Manchester. Selanjutnya, Wittgenstein juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari ilmu matematika. Sehingga pada tahun 1911 ia bertemu dengan Gottlob Frege, yaitu seorang ilmuan Jerman yang ahli dalam bidang matematika. Pertemuan Wittgenstein dengan Frege ternyata memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada Bertrand Russel di Cambridge.[1]
Seiring dengan perkembangannya, Ludwig Wittgenstein juga dikenal sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran, sehingga pemikirannya sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Pada masa Wittgenstein I (Tractacus Logico-Philosophicus, 1922), Wittgenstein begitu ketat dalam memapar kan istilah bahasa logika, yaitu dengan mengidealisasikan kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas. Kemudian, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II (Philosphical Investigations, 1953), Wittgenstein seakan-akan membantah pemikirannya sendiri dengan menyata-kan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman makna, sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah tata permainan bahasa (language game).[2]

B.     Hakikat Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Permainan bahasa (language games) merupakan pemikiran kedua dari pemikiran Wittgenstein II. Berbeda dari periode pertama, pada periode kedua ini Wittgenstein telah mencetuskan teori tentang filsafat bahasa biasa (ordinary language) dan teori permainan bahasa (language games). Pada awalnya Wittgen-stein menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, namun pada perkembangan selanjutnya ia menyakini bahwa bahasa sehari-sehari sangatlah memadai untuk melakukan hal itu.
Jika kita mengkaji pemikiran Wittgenstein pada periode kedua tentang tata permainan bahasa (language games). Maka ia mengatakan bahwa hakikat permainan bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya. Dalam hal ini juga Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia.[3]
Dengan demikian, makna suatu kata sangatlah tergantung pada situasi, tempat dan waktu kata-kata tersebut digunakan dalam suatu kalimat. Menurut Wittgenstein, kekacauan dalam pemakaian bahasa disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan timbul ketika aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang bukan seharusnya.[4]
Konteks inilah sebenarnya maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya. Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop atau berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”.[5]
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak Misalnya kata “aku”, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tetapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampuradukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.[6]
Kemudian akan berbeda lagi kasusnya jika sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu, maka tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks ekonomi, maka jelas maknanya. Tetapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, maka bisa memicu kesalahpahaman arti. Dalam pergaulan sehari-hari kata tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap dirumahnya”.[7]
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya dan tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.



[1] Kaelan, Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstain: Relevansi Bagi Pengembangan Prakmatik, dalam makalahnya Iman Santoso, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), Hal. 6, Https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc. Apload: 16 November 2013, 22:00 Wib.
[2] Johanes B. K. Soro. Mengenal Ludwig Wittgenstein dan Pemikirannya. Http://my.opera. com/ Nyocor/blog/. Apload: 17 November 2013. 20:10 Wib.
[3] Kaelan. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein,... Hal.133 – 146.
[4] Iman Santoso. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin. (Yogyakarta: Universitas Gadjahmada. 2013). Hal. 9. Https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad. Apload: 16 November 2013. 22:00 Wib.
[5] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise. blogspot.com/2012/11/. Apload: 16 November 2013. 20:45.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.