Makalah
PERMAINAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN
Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa
Disusun Oleh:
Kelompok II
Nazari Mahda :
311102948
Lukman : 311102959
Melisa Meina :
311102954
Agustiana : 311102930
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013
Bab
II
Pembahasan
A.
Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria)
pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya
bernama Karl Wittgenstein (Kristen Protestan) dan ibunya bernama Leopoldine
Kalmus (Katolik). Pada tahun 1906, Wittgenstein belajar teknik di kota Berlin.
Namun pada tahun 1908 ia melanjutkan belajar tehnik di kota Manchester.
Selanjutnya, Wittgenstein juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari ilmu
matematika. Sehingga pada tahun 1911 ia bertemu dengan Gottlob Frege, yaitu
seorang ilmuan Jerman yang ahli dalam bidang matematika. Pertemuan Wittgenstein
dengan Frege ternyata memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada Bertrand Russel
di Cambridge.[1]
Seiring dengan perkembangannya, Ludwig
Wittgenstein juga dikenal sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa
pergeseran, sehingga pemikirannya sering disebut sebagai Wittgenstein I dan
Wittgenstein II. Pada masa Wittgenstein I (Tractacus Logico-Philosophicus, 1922),
Wittgenstein begitu ketat dalam memapar kan istilah bahasa logika, yaitu dengan
mengidealisasikan kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan stuktur
realitas. Kemudian, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka
pada Wittgenstein II (Philosphical Investigations, 1953),
Wittgenstein seakan-akan membantah pemikirannya sendiri dengan menyata-kan
bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman makna, sesuai dengan
keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal
luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang
berpuncak pada istilah tata permainan bahasa (language game).[2]
B.
Hakikat Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Permainan
bahasa (language games) merupakan pemikiran kedua dari pemikiran
Wittgenstein II. Berbeda dari periode pertama, pada periode kedua ini Wittgenstein
telah mencetuskan teori tentang filsafat bahasa biasa (ordinary language)
dan teori permainan bahasa (language games). Pada awalnya
Wittgen-stein menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan
pemikiran-pemikiran filosofis, namun pada perkembangan selanjutnya ia menyakini
bahwa bahasa sehari-sehari sangatlah memadai untuk melakukan hal itu.
Jika
kita mengkaji pemikiran Wittgenstein pada periode kedua tentang tata permainan
bahasa (language games). Maka ia mengatakan bahwa hakikat permainan
bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia.
Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki
aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya.
Dalam hal ini juga Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah
penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam
bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan
manusia.[3]
Dengan
demikian, makna suatu kata sangatlah tergantung pada situasi, tempat dan waktu
kata-kata tersebut digunakan dalam suatu kalimat. Menurut Wittgenstein,
kekacauan dalam pemakaian bahasa disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan)
penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini
dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan
timbul ketika aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang
bukan seharusnya.[4]
Konteks inilah sebenarnya maksud
yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa. Setiap
makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang
melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya. Kata “kiri”,
misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia
bermakna “stop atau berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi
tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”.
Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang
berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks
rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”.[5]
Belum lagi bila sebuah kata
dipergunakan dalam konteks formal atau tidak Misalnya kata “aku”, jika
digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan
makna yang dekat, akrab, dan intim. Tetapi jika kata “aku” digunakan dalam
konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan
tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks
formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan
permainannya, tidak boleh dicampuradukkan, atau diabaikan, karena akan memicu
kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.[6]
Kemudian akan berbeda lagi kasusnya
jika sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu
tertentu, maka tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas
ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply)
jika digunakan dalam konteks ekonomi, maka jelas maknanya. Tetapi jika kata ilmiah
baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, maka bisa memicu
kesalahpahaman arti. Dalam pergaulan
sehari-hari kata tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi
kenduri” dan “penawaran untuk menginap dirumahnya”.[7]
Semua uraian tersebut menunjukkan
dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat
terikat dengan konteks penggunananya dan tata aturan permainannya. Kegagalan
mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan
bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.
[1] Kaelan, Filsafat
Analitis Menurut Ludwig Wittgenstain: Relevansi Bagi Pengembangan Prakmatik,
dalam makalahnya Iman Santoso, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari
G.E Moore Hingga J.L Austin, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,
2013), Hal. 6, Https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc.
Apload: 16 November 2013, 22:00 Wib.
[2] Johanes B. K.
Soro. Mengenal Ludwig Wittgenstein dan Pemikirannya. Http://my.opera.
com/ Nyocor/blog/. Apload: 17 November 2013. 20:10 Wib.
[3] Kaelan.
Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein,... Hal.133 – 146.
[4] Iman Santoso. Perkembangan
Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin. (Yogyakarta: Universitas
Gadjahmada. 2013). Hal. 9. Https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad.
Apload: 16 November 2013. 22:00 Wib.
[5] Imanuel Harefa.
Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise. blogspot.com/2012/11/.
Apload: 16 November 2013. 20:45.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar