Senin, 27 Januari 2014

Filsafat Bahasa

  
Makalah
PERMAINAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN
Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa

Disusun Oleh:
Kelompok II
                             Nazari Mahda           : 311102948
                             Lukman                     : 311102959
                             Melisa Meina           : 311102954
                             Agustiana                  : 311102930




JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT 
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013

Bab II
Pembahasan
A.    Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein (Kristen Protestan) dan ibunya bernama Leopoldine Kalmus (Katolik). Pada tahun 1906, Wittgenstein belajar teknik di kota Berlin. Namun pada tahun 1908 ia melanjutkan belajar tehnik di kota Manchester. Selanjutnya, Wittgenstein juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari ilmu matematika. Sehingga pada tahun 1911 ia bertemu dengan Gottlob Frege, yaitu seorang ilmuan Jerman yang ahli dalam bidang matematika. Pertemuan Wittgenstein dengan Frege ternyata memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada Bertrand Russel di Cambridge.[1]
Seiring dengan perkembangannya, Ludwig Wittgenstein juga dikenal sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran, sehingga pemikirannya sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Pada masa Wittgenstein I (Tractacus Logico-Philosophicus, 1922), Wittgenstein begitu ketat dalam memapar kan istilah bahasa logika, yaitu dengan mengidealisasikan kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas. Kemudian, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II (Philosphical Investigations, 1953), Wittgenstein seakan-akan membantah pemikirannya sendiri dengan menyata-kan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman makna, sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah tata permainan bahasa (language game).[2]

B.     Hakikat Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Permainan bahasa (language games) merupakan pemikiran kedua dari pemikiran Wittgenstein II. Berbeda dari periode pertama, pada periode kedua ini Wittgenstein telah mencetuskan teori tentang filsafat bahasa biasa (ordinary language) dan teori permainan bahasa (language games). Pada awalnya Wittgen-stein menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, namun pada perkembangan selanjutnya ia menyakini bahwa bahasa sehari-sehari sangatlah memadai untuk melakukan hal itu.
Jika kita mengkaji pemikiran Wittgenstein pada periode kedua tentang tata permainan bahasa (language games). Maka ia mengatakan bahwa hakikat permainan bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya. Dalam hal ini juga Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia.[3]
Dengan demikian, makna suatu kata sangatlah tergantung pada situasi, tempat dan waktu kata-kata tersebut digunakan dalam suatu kalimat. Menurut Wittgenstein, kekacauan dalam pemakaian bahasa disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan timbul ketika aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang bukan seharusnya.[4]
Konteks inilah sebenarnya maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya. Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop atau berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”.[5]
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak Misalnya kata “aku”, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tetapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampuradukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.[6]
Kemudian akan berbeda lagi kasusnya jika sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu, maka tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks ekonomi, maka jelas maknanya. Tetapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, maka bisa memicu kesalahpahaman arti. Dalam pergaulan sehari-hari kata tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap dirumahnya”.[7]
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya dan tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.



[1] Kaelan, Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstain: Relevansi Bagi Pengembangan Prakmatik, dalam makalahnya Iman Santoso, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), Hal. 6, Https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc. Apload: 16 November 2013, 22:00 Wib.
[2] Johanes B. K. Soro. Mengenal Ludwig Wittgenstein dan Pemikirannya. Http://my.opera. com/ Nyocor/blog/. Apload: 17 November 2013. 20:10 Wib.
[3] Kaelan. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein,... Hal.133 – 146.
[4] Iman Santoso. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin. (Yogyakarta: Universitas Gadjahmada. 2013). Hal. 9. Https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad. Apload: 16 November 2013. 22:00 Wib.
[5] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise. blogspot.com/2012/11/. Apload: 16 November 2013. 20:45.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar