Sabtu, 04 Januari 2014

Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Riwayat Hidup dan Karya Suhrawardi Al-Maqtul
1.      Riwayat hidup
Suhrawardi al-Maqtul merupakan salah seorang sufi filosof. Nama lengkap-nya ialah Syihab Al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak[1] Al-Suhrawardi. Ia dilahirkan di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun 548 H/ 1153 M.[2] Sedangkan meninggalnya ialah di Damsyik (Damascus)[3] pada tahun 587 H/ 1191 M, diusianya yang ke-38 tahun. Meninggalnya Suhrawardi ini disebabkan hukuman mati yang ditimpakan kepadanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi atas tuduhan kafir dari kaum fuqaha.[4] Suhrawardi dijuluki sebagai al-maqtul (terbunuh), master of illuminasionist (bapak pencerahan), al-hakim (sang bijak)[5], dan al-syahid (sang martir)[6].
Di usia yang tergolong masih muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing rohaninya. Ia pergi ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[7] Suhrawardi mulai belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majid al-Din al-Jili di wilayah Maragha, di sini terdapat observatorium[8] Nasr al-Din al-Thusi, kemudian mengembara lagi ke Ishfahan untuk belajar pada Fakhr al-Din al-Mardani (w. 594 H/ 1198 M)[9]. Berikutnya Suhrawardi juga belajar logika pada Zhahir al- Din al-Qari al-Farsi, yaitu dalam mengkaji kitab al-Bashair al-Nashiriyah karangan umar Ibnu Sahlan al-Sawi.[10] Selain itu beliau menguasai pula ajaran fiqh mazhab Syafi’i.[11]
2.      Karyanya-Karyanya
Menurut pengelompokan yang telah dilakukan oleh Sayyed Hosein Nasr, maka karya-karya Suhrawardi ialah sebagai berikut:[12]
  • Penafsiran dan modifikasi terhadap falsafah peripatetis, yaitu talwihat, maqawamat, mutharahat, dan hikmah al-isyraq yang merupakan suatu kajian yang berkaitan dengan penyikapan terhadap misteri-misteri ketuhanan melalui cahaya secara mendalam dan berdasarkan pengalaman rububiyah.[13]
  • Karangan pendek tentang falsafah, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu hayakil al-nur, al-alwah al-‘imadiyah, partawnamah, fi i’tiqad al-hukama, al-lamahat, yazdan syinakht, dan bustan al-qulub.
  • Karya yang bermuatan dan berlambang mistis, yang pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia, yaitu ‘aqli surkh, awaz’i par’i jibrail, al-ghurbat al-ghurbiyah, lughat’i muran, risalah fi halat al-thifuliyah, ruzi ba jama’ at’i shufiyan, risalah fi al-mi’raj, dan syafiri simurgh.
  • Komentar dan terjemahan dari falsafah terdahulu dan ajaran-ajaran keagama-an, seperti risalah al-thair karya Ibn Sina diterjemahkan kedalam bahasa Persia.
B.     Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
1.      Latar Belakang Pemikirannya
Pemikiran iluminasi dari Suhrawardi tidak hanya bersumber dari Islam tetapi sumber dari non-Islam pun turut mewakili pemikirannya. Menurut Sayyed Hosein Nasr, pemikiran Suhrawardi bersumber pada:[14]

  • Pemikiran sufisme, yaitu melalui karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Namun yang paling berpengaruh adalah karyanya al-Ghazali, yaitu: misykat al-anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman.
  • Pemikiran peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meskipun banyak kritikan tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan iluminasi.
  • Pemikiran sebelum Islam, yaitu aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme di Alexandria, yang kemudian disebarkan oleh kaum Sya-biah Harran yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
  • Pemikiran-pemikiran Iran Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para pemikir Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes).
  • Bersandar pada ajaran zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian di tambah dengan istilah-istilah sendiri. Namun demikian, Suhrawardi menyata-kan bahwa dirinya bukanlah penganut ajaran dualisme dan tidak menuduh mazhab zahiriyah sebagai pengikut zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersem-bunyi di lubuk masyarakat zoroaster.

2.      Metafisika dan cahaya
Dalam pengkajian metafisika ini, banyak dari para pemikir yang memiliki ungkapan atau metode penguraian yang berbeda. Beberapa tokoh sufi menyebut Allah dengan cahaya, yaitu berdasarkan Al-Qur’an surat Al Nur: 35, artinya[15]:
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang di berkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut Suhrawardi cahaya itu bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisi-kan. Cahaya adalah entitas,[16] baik yang bersifat fisik maupun non fisik sebagai suatu komponen yang esensial. Segala sesuatu yang bukan dari "cahaya murni", terdiri dari substansi gelap. Sejauh benda-benda itu dapat menerima, baik cahaya maupun kegelapan, bisa dinamakan "imus-imus". Dipandang dari dirinya sendiri, setiap imus adalah gelap. Di dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam (2010:187), Dedi Supriyadi beranggapan bahwa simbolisme cahaya yang digunakan oleh suhrawardi dalam filsafat iluminasinya lebih cocok dan sesuai untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud karena cahaya itu memungkinkan untuk mempunyai entitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Kemudian dianggap juga bahwa simbolis cahaya dapat dijadikan sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan. Contohnya, ketika semakin dekatnya suatu entitas dengan sumbernya, yaitu cahaya dari segala cahaya, maka semakin teranglah cahaya entitas tersebut”.       
Substansi-substansi gelap memiliki sifat, seperti bentuk dan ukuran yang berasal dari sifat gelap. Sedangkan cahaya murni bebas dari kegelapan, ia hanya memahami diri sendiri di luar dirinya, sementara semua proses lain di luar dirinya tergantung padanya. Cahaya murni merupakan sumber gerak, tetapi geraknya bukanlah perubahan tempat. Gerak itu berupa citra akan “penerangan” yang akan membentuk esensinya, seakan cahaya murni menghidupkan segala sesuatu dengan cara melimpahkan sinarnya kedalam segala wujud.
Cahaya pada dasarnya dapat dibedakan menjadi, pertama: cahaya abstrak, yang terbentuk dan tidak pernah menjadi sesuatu selain dirinya sendiri. Kedua; cahaya aksiden, yaitu cahaya yang mempunyai bentuk dan mampu menjadi sesuatu selain dirinya sendiri, seperti sinar bintang, atau keterlihatan benda-benda angkasa lainnya. Cahaya aksiden atau cahaya yang dapat diindra merupakan suatu refleksi jauh cahaya abstrak yang disebabkan oleh jarak setelah kehilangan substansi cahaya abstrak. Proses refleksi berkesinambungan menyebabkan penerangan cahaya tersebut melemah dan berangsur-angsur kehilangan intensitasnya dalam rangkaian refleksi.
Selain itu, cahaya dapat pula dibedakan menjadi cahaya bagi dirinya dan cahaya bagi luar dirinya. Cahaya juga memiliki hierarki vertical (tingkatan). Pada puncak skala cahaya berdiri cahaya segala cahaya, yang kepadanya tergantung seluruh rentetan cahaya yang ada dibawahnya. Sebagai asal atau sumber segala cahaya, cahaya ini niscaya keberadaannya. Rentetan cahaya itu haruslah berjuang untuk sampai pada cahaya segala cahaya.
Cahaya ini disebut Suhrawardi sebagai al Nur al Muhith, al Nur al Qayyum, al Nur al Muqaddas, al Nur al A'dham al A'la, al Nur al Qahhar, dan al Ghani al Muthlaq. Sifat Cahaya Segala Cahaya adalah Esa. Cahaya pertama (Nur al Awwal) muncul melalui proses emanasi pada dirinya, yaitu berjumlah satu dan tidak tersusun, karena tidak mungkin bahwa sebuah entitas tersusun dari cahaya dan kegelapan akan memancar sebuah realitas yang bebas dari kegelapan.
Suhrawardi mengatakan bahwa hubungan cahaya yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah dirumuskan dalam istilah-istilah dominasi, sedangkan hubungan cahaya yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah attraksi (menarik) atau cinta ('isyaq: philia). Dua kekuatan dominasi dan cinta inilah yang mengatur dunia. Cahaya segala cahaya yang tidak ada bandingannya dalam mendominasi segala sesuatu dan mencintai entitas yang paling tinggi yaitu dirinya sendiri. Dalam tindakan mencintai diri ini akan terbagi kesenangan tertinggi, kesa-daran dan perenungan yang paling sempurna.

3.      Epistemologi
Suhrawardi berpendapat bahwa suatu prinsip definisi yang benar ialah menyebutkan satu persatu atribut esensial yang terdapat pada benda yang dide-finisikan. Suhrawardi membahas dengan panjang lebar masalah pengetahuan yang pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi. Suhrawardi menggabungkan cara nalar dengan cara intuisi, dan menganggap keduanya saling melengkapi. Nalar tanpa intuisi dan iluminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengung-kapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[17]Akal tanpa bantuan Dzauq (pengetahuan batin, intuitif) tidak dapat dipercaya. Dzauq berfungsi menyerap misteri segala esensi dan membuang skeptisisme, dan sisi spekulatif murni dari pengalaman spritual perlu dirumuskan dan disistematiskan oleh pikiran logis.
Dalam buku Hikmah al-Isyraqnya, suhrawardi mengatakan bahwa pengeta-huan iluminasionisnya dilandasi pada rasa, sebagaimana perkataannya yang telah terkutip dari buku Mustofa[18], yaitu:
“Apa yang ku kemukakan dalam hikmah al-Isyraq ini, tidak ku peroleh dengan pikiran, melainkan ku peroleh melalui sumber lain. Dan aku pun segera mencari argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti, maka sedikit pun ak tidak ragu terhadapnya, meskipun orang meragukannya”.    

4.      Kosmologi
Kosmologi adalah satu bidang ilmu tentang alam semesta. Ilmu ini menum-pukan perhatian pada persolan asal-usul kewujudan alam semesta, elemen-elemen yang terkandung di dalamnya, hubungan antara elemen-elemen tersebut, dan ber-bagai perkara lain yang secara langsung dan tidak langsung mempunyai kaitan dengan alam semesta.[19] Pelimpahan dari sumber pertama (Tuhan) itu bersifat abadi dan terus menerus, sebab pelakunya tidak berubah-ubah dan terus ada. Sebagai konsekuensinya alam juga abadi, yaitu sebagai akibat dari pelimpahan-Nya. Dengan kata lain, ada dua yang abadi yaitu Tuhan dan alam. Namun demikian, menurut Suhrawardi tetap berbeda. Alam semesta adalah manifestasi (perwujudan) kekuatan penerangan yang membentuk sebagaimana karakter esensial cahaya pertama. Oleh sebab itu, alam semesta merupakan suatu manifestasi yang tergantung dan tidak abadi, tetapi dalam makna lain ia abadi. Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat kelompok, yaitu:

  • Alam akal, berisikan cahaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari intensitas cahaya pertama. Seperti: Ruh Qudus dan Rabb Thilsam.
  • Alam jiwa-jiwa yang terdapat jiwa-jiwa pengatur planet langit dan tubuh manusia. Menurut Suhrawardi jiwa-jiwa planet muncul dari arbab al-anwa’ al-samawi, yang berasal dari hirarkhi cahaya atau akal horizontal.
  • Alam bentuk (alam al-ajsam), yang menurutnya ada dua bentuk, yaitu: alam bentuk unsur yang berbeda dibawah planet bulan dan alam bentuk zat yang sangat luas, yaitu bentuk planet langit.
  • Alam mitsal, yakni suatu alam lepasnya jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga bentuk alam diatas merupakan kelaziman bagi perbincangan filsuf, tetapi alam yang keempat merupakan bentuk inovasi baru yang ditemukan oleh Suhrawardi dalam mujahadah[20] dan musyahadahnya secara berkelanjutan.



[1] Mustofa. 2007. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 247.
[2] Majid Fakhry. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Bandung: Mizan. Hal. 129.
[3] Dedi Sufriyadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Cet. II. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 177.
[4] Majid Fakhry. 2002. Sejarah Filsafat Islam: ... Hal. 129.
[5] Hasyimsyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. Hlm. 143
[6] Orang yang rela mati dalam memperjuangkan kebenaran agama. Http://Www. Artikata .Com/Arti-339947-Martir.Hlm. 02 april 2013.
[7] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, Hal. 30
[8] Observatorium adalah sebuah lokasi dengan perlengkapan yang diletakkan secara permanen agar dapat melihat langit dan peristiwa yang berhubungan dengan angkasa.
[9] Dedi Sufriyadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam:... Hal. 176.
[10] Hasyimsyah Nasution. 1999. Filsafat Islam ... Hal. 144.
[12] Hasyimsyah Nasution. 1999. Filsafat Islam ... Hlm. 144-145.
[13]Rububiyah adalah suatu bentuk ketauhidan, yaitu beriman bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, satu-satunya pemberi rezeki, tidak ada yang dapat memberi madzharat dan manfaat kecuali hanya Allah. http://www.artikelislami. com/2010/05/pengertian-tauhid rubu-biyahtml.
[14] A. Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 120-121.
[15] Al-qur’an dan Terjemahan: Al-Hikmah. Bandung: CV Diponegoro
[16] Entitas adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda. Http:// www. arti kata. com/ arti - 339947. 02 April 2013.
[17] Hasyimsyah Nasution. 1999. Filsafat Islam ...  Hlm. 154
[18] Mustofa. 1999. Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin, Komponem MKDK. Cet. I. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 250
[19] Yaakub Harun. 2001. Kosmologi Melayu. Malaysia: Akademi Pengajian Melayu. Http: // Melayu Online. Com/Bookreview/ Kosmologi-Melayu.
[20] Berjihad menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa untuk dekat kepada Allah Ta’ala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar