BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup dan Karya Suhrawardi Al-Maqtul
1. Riwayat hidup
1. Riwayat hidup
Suhrawardi al-Maqtul merupakan salah seorang sufi filosof. Nama
lengkap-nya ialah Syihab Al-Din Abu al-Futuh Yahya ibnu Habasy ibnu Amirak[1]
Al-Suhrawardi. Ia dilahirkan di desa Suhrawardi, Aleppo-Suriah sekitar tahun
548 H/ 1153 M.[2]
Sedangkan meninggalnya ialah di Damsyik (Damascus)[3]
pada tahun 587 H/ 1191 M, diusianya yang ke-38 tahun. Meninggalnya Suhrawardi ini
disebabkan hukuman mati yang ditimpakan kepadanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi
atas tuduhan kafir dari kaum fuqaha.[4]
Suhrawardi dijuluki sebagai al-maqtul (terbunuh), master of illuminasionist (bapak pencerahan), al-hakim (sang bijak)[5], dan al-syahid (sang martir)[6].
Di usia yang tergolong masih muda, Suhrawardi telah mengunjungi
sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing rohaninya. Ia pergi ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[7]
Suhrawardi mulai belajar filsafat, hukum dan teologi
kepada Majid al-Din al-Jili di wilayah Maragha, di sini terdapat observatorium[8] Nasr
al-Din al-Thusi, kemudian mengembara
lagi ke Ishfahan untuk belajar pada Fakhr al-Din al-Mardani
(w. 594 H/ 1198 M)[9].
Berikutnya Suhrawardi juga belajar logika pada Zhahir al- Din al-Qari
al-Farsi, yaitu dalam mengkaji kitab al-Bashair al-Nashiriyah
karangan umar Ibnu Sahlan al-Sawi.[10] Selain itu beliau menguasai pula ajaran fiqh mazhab Syafi’i.[11]
2. Karyanya-Karyanya
2. Karyanya-Karyanya
Menurut pengelompokan
yang telah dilakukan oleh Sayyed Hosein Nasr, maka karya-karya Suhrawardi ialah
sebagai berikut:[12]
- Penafsiran dan modifikasi terhadap falsafah peripatetis, yaitu talwihat, maqawamat, mutharahat, dan hikmah al-isyraq yang merupakan suatu kajian yang berkaitan dengan penyikapan terhadap misteri-misteri ketuhanan melalui cahaya secara mendalam dan berdasarkan pengalaman rububiyah.[13]
- Karangan pendek tentang falsafah, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu hayakil al-nur, al-alwah al-‘imadiyah, partawnamah, fi i’tiqad al-hukama, al-lamahat, yazdan syinakht, dan bustan al-qulub.
- Karya yang bermuatan dan berlambang mistis, yang pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia, yaitu ‘aqli surkh, awaz’i par’i jibrail, al-ghurbat al-ghurbiyah, lughat’i muran, risalah fi halat al-thifuliyah, ruzi ba jama’ at’i shufiyan, risalah fi al-mi’raj, dan syafiri simurgh.
- Komentar dan terjemahan dari falsafah terdahulu dan ajaran-ajaran keagama-an, seperti risalah al-thair karya Ibn Sina diterjemahkan kedalam bahasa Persia.
B.
Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
1. Latar Belakang Pemikirannya
1. Latar Belakang Pemikirannya
Pemikiran iluminasi
dari Suhrawardi tidak hanya bersumber dari Islam tetapi sumber dari non-Islam
pun turut mewakili pemikirannya. Menurut Sayyed Hosein Nasr, pemikiran Suhrawardi bersumber pada:[14]
2. Metafisika dan cahaya
- Pemikiran sufisme, yaitu melalui karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Namun yang paling berpengaruh adalah karyanya al-Ghazali, yaitu: misykat al-anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman.
- Pemikiran peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meskipun banyak kritikan tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan iluminasi.
- Pemikiran sebelum Islam, yaitu aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme di Alexandria, yang kemudian disebarkan oleh kaum Sya-biah Harran yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
- Pemikiran-pemikiran Iran Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para pemikir Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes).
- Bersandar pada ajaran zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian di tambah dengan istilah-istilah sendiri. Namun demikian, Suhrawardi menyata-kan bahwa dirinya bukanlah penganut ajaran dualisme dan tidak menuduh mazhab zahiriyah sebagai pengikut zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersem-bunyi di lubuk masyarakat zoroaster.
2. Metafisika dan cahaya
Dalam pengkajian metafisika ini, banyak dari para pemikir yang
memiliki ungkapan atau metode penguraian yang berbeda. Beberapa tokoh sufi
menyebut Allah dengan cahaya, yaitu berdasarkan Al-Qur’an surat Al Nur: 35,
artinya[15]:
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang di berkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang di berkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api, cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi siapa yang dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Menurut
Suhrawardi cahaya itu bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisi-kan. Cahaya
adalah entitas,[16]
baik yang bersifat fisik maupun non fisik sebagai suatu komponen yang esensial.
Segala sesuatu yang bukan dari "cahaya murni", terdiri dari substansi
gelap. Sejauh benda-benda itu dapat menerima, baik cahaya maupun kegelapan,
bisa dinamakan "imus-imus". Dipandang dari dirinya sendiri, setiap
imus adalah gelap. Di dalam bukunya Pengantar Filsafat Islam (2010:187), Dedi
Supriyadi beranggapan bahwa simbolisme cahaya yang digunakan oleh suhrawardi
dalam filsafat iluminasinya lebih cocok dan sesuai untuk menyampaikan prinsip
ontologis wujud karena cahaya itu memungkinkan untuk mempunyai entitas yang
berbeda meskipun esensinya sama. Kemudian dianggap juga bahwa simbolis cahaya
dapat dijadikan sebagai indikasi akan derajat kesempurnaan. Contohnya, ketika
semakin dekatnya suatu entitas dengan sumbernya, yaitu cahaya dari segala
cahaya, maka semakin teranglah cahaya entitas tersebut”.
Substansi-substansi
gelap memiliki sifat, seperti bentuk dan ukuran yang berasal dari sifat gelap.
Sedangkan cahaya murni bebas dari kegelapan, ia hanya memahami diri sendiri di
luar dirinya, sementara semua proses lain di luar dirinya tergantung padanya. Cahaya
murni merupakan sumber gerak, tetapi geraknya bukanlah perubahan tempat. Gerak
itu berupa citra akan “penerangan” yang akan membentuk esensinya, seakan cahaya
murni menghidupkan segala sesuatu dengan cara melimpahkan sinarnya kedalam
segala wujud.
Cahaya
pada dasarnya dapat dibedakan menjadi, pertama: cahaya abstrak, yang
terbentuk dan tidak pernah menjadi sesuatu selain dirinya sendiri. Kedua; cahaya
aksiden, yaitu cahaya yang mempunyai bentuk dan mampu menjadi sesuatu
selain dirinya sendiri, seperti sinar bintang, atau keterlihatan benda-benda
angkasa lainnya. Cahaya aksiden atau cahaya yang dapat diindra merupakan suatu
refleksi jauh cahaya abstrak yang disebabkan oleh jarak setelah kehilangan
substansi cahaya abstrak. Proses refleksi berkesinambungan menyebabkan
penerangan cahaya tersebut melemah dan berangsur-angsur kehilangan
intensitasnya dalam rangkaian refleksi.
Selain
itu, cahaya dapat pula dibedakan menjadi cahaya bagi dirinya dan cahaya bagi
luar dirinya. Cahaya juga memiliki hierarki vertical (tingkatan). Pada
puncak skala cahaya berdiri cahaya segala cahaya, yang kepadanya tergantung
seluruh rentetan cahaya yang ada dibawahnya. Sebagai asal atau sumber segala
cahaya, cahaya ini niscaya keberadaannya. Rentetan cahaya itu haruslah berjuang
untuk sampai pada cahaya segala cahaya.
Cahaya
ini disebut Suhrawardi sebagai al Nur al Muhith, al
Nur al Qayyum, al Nur al Muqaddas, al Nur al A'dham al
A'la, al Nur al Qahhar, dan al Ghani al Muthlaq. Sifat Cahaya Segala Cahaya
adalah Esa. Cahaya pertama (Nur al Awwal) muncul melalui
proses emanasi pada dirinya, yaitu berjumlah satu dan tidak tersusun, karena
tidak mungkin bahwa sebuah entitas tersusun dari cahaya dan kegelapan akan
memancar sebuah realitas yang bebas dari kegelapan.
Suhrawardi
mengatakan bahwa hubungan cahaya yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah dirumuskan
dalam istilah-istilah dominasi, sedangkan hubungan cahaya yang lebih rendah
dengan yang lebih tinggi dirumuskan dalam istilah-istilah attraksi (menarik)
atau cinta ('isyaq: philia). Dua kekuatan dominasi dan cinta
inilah yang mengatur dunia. Cahaya segala cahaya yang tidak ada bandingannya dalam
mendominasi segala sesuatu dan mencintai entitas yang paling tinggi yaitu
dirinya sendiri. Dalam tindakan mencintai diri ini akan terbagi kesenangan
tertinggi, kesa-daran dan perenungan yang paling sempurna.
3. Epistemologi
Suhrawardi
berpendapat bahwa suatu prinsip definisi yang benar ialah menyebutkan satu
persatu atribut esensial yang terdapat pada benda yang dide-finisikan.
Suhrawardi membahas dengan panjang lebar masalah pengetahuan yang pada akhirnya
mendasarkannya pada iluminasi. Suhrawardi menggabungkan cara nalar dengan cara
intuisi, dan menganggap keduanya saling melengkapi. Nalar tanpa intuisi dan iluminasi tidak akan
pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan
intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan
rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengung-kapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[17]Akal tanpa bantuan Dzauq (pengetahuan batin, intuitif) tidak
dapat dipercaya. Dzauq berfungsi menyerap misteri segala esensi dan membuang
skeptisisme, dan sisi spekulatif murni dari pengalaman spritual
perlu dirumuskan dan disistematiskan oleh pikiran logis.
Dalam
buku Hikmah al-Isyraqnya, suhrawardi mengatakan bahwa
pengeta-huan iluminasionisnya dilandasi pada rasa, sebagaimana perkataannya
yang telah terkutip dari buku Mustofa[18],
yaitu:
“Apa yang ku kemukakan dalam hikmah al-Isyraq
ini, tidak ku peroleh dengan pikiran, melainkan ku peroleh melalui sumber lain.
Dan aku pun segera mencari argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar
telah pasti, maka sedikit pun ak tidak ragu terhadapnya, meskipun orang
meragukannya”.
4. Kosmologi
Kosmologi
adalah satu bidang ilmu tentang alam semesta. Ilmu ini menum-pukan perhatian
pada persolan asal-usul kewujudan alam semesta, elemen-elemen yang terkandung
di dalamnya, hubungan antara elemen-elemen tersebut, dan ber-bagai perkara lain
yang secara langsung dan tidak langsung mempunyai kaitan dengan alam semesta.[19] Pelimpahan
dari sumber pertama (Tuhan) itu bersifat abadi dan terus menerus, sebab
pelakunya tidak berubah-ubah dan terus ada. Sebagai konsekuensinya alam juga
abadi, yaitu sebagai akibat dari pelimpahan-Nya. Dengan kata lain, ada dua yang
abadi yaitu Tuhan dan alam. Namun demikian, menurut Suhrawardi tetap berbeda.
Alam semesta adalah manifestasi (perwujudan) kekuatan penerangan yang membentuk
sebagaimana karakter esensial cahaya pertama. Oleh sebab itu, alam semesta
merupakan suatu manifestasi yang tergantung dan tidak abadi, tetapi dalam makna
lain ia abadi. Suhrawardi mengelompokkan alam menjadi empat kelompok, yaitu:
- Alam akal, berisikan cahaya-cahaya dominator yang jumlahnya tergantung dari intensitas cahaya pertama. Seperti: Ruh Qudus dan Rabb Thilsam.
- Alam jiwa-jiwa yang terdapat jiwa-jiwa pengatur planet langit dan tubuh manusia. Menurut Suhrawardi jiwa-jiwa planet muncul dari arbab al-anwa’ al-samawi, yang berasal dari hirarkhi cahaya atau akal horizontal.
- Alam bentuk (alam al-ajsam), yang menurutnya ada dua bentuk, yaitu: alam bentuk unsur yang berbeda dibawah planet bulan dan alam bentuk zat yang sangat luas, yaitu bentuk planet langit.
- Alam mitsal, yakni suatu alam lepasnya jiwa menuju kesempurnaan.
Tiga bentuk alam diatas merupakan kelaziman bagi perbincangan
filsuf, tetapi alam yang keempat merupakan bentuk inovasi baru yang ditemukan
oleh Suhrawardi dalam mujahadah[20]
dan musyahadahnya secara berkelanjutan.
[1] Mustofa. 2007.
Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 247.
[2] Majid Fakhry.
2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis.
Bandung: Mizan. Hal. 129.
[3] Dedi
Sufriyadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya.
Cet. II. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 177.
[4] Majid Fakhry.
2002. Sejarah Filsafat Islam: ... Hal. 129.
[6] Orang yang
rela mati dalam memperjuangkan kebenaran agama. Http://Www. Artikata .Com/Arti-339947-Martir.Hlm. 02 april
2013.
[7] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik,
Yogyakarta: LKiS, 2005, Hal. 30
[8] Observatorium
adalah sebuah lokasi dengan perlengkapan yang diletakkan secara permanen agar
dapat melihat langit dan peristiwa yang berhubungan dengan angkasa.
[9]
Dedi Sufriyadi.
2010. Pengantar Filsafat Islam:... Hal. 176.
[10] Hasyimsyah
Nasution. 1999. Filsafat Islam ... Hal. 144.
[13]Rububiyah adalah
suatu bentuk ketauhidan, yaitu beriman bahwa Allah adalah satu-satunya
pencipta, satu-satunya pemberi rezeki, tidak ada yang dapat memberi
madzharat dan manfaat kecuali hanya Allah. http://www.artikelislami.
com/2010/05/pengertian-tauhid rubu-biyahtml.
[15] Al-qur’an dan
Terjemahan: Al-Hikmah. Bandung: CV Diponegoro
[16] Entitas adalah
sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan
berbeda. Http:// www. arti kata. com/
arti - 339947. 02 April 2013.
[18]
Mustofa. 1999. Filsafat
Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab, dan Ushuluddin, Komponem MKDK.
Cet. I. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 250
[19] Yaakub Harun.
2001. Kosmologi Melayu. Malaysia: Akademi Pengajian Melayu. Http:
// Melayu Online. Com/Bookreview/ Kosmologi-Melayu.
[20] Berjihad
menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa untuk dekat kepada Allah Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar