A.
Pendahuluan
Filsafat barat adalah sebutan
yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran yang ada di dunia barat. Pengkajian
terhadap filsafat ini dimulai sejak abad pertengahan (6 M-12 M), fase-fase
kebangkitan kembali (renaisance) pada abad 14 M – 16 M. Adapun ruang lingkup
kajian filsafat barat dapat diabagi kedalam empat periode, yaitu: Periode
pertama (zaman Yunani Kuno), yang pemikirannya bercirikan kosmo-sentris, yaitu
mempertanyakan tentang kejadian alam semesta. Periode kedua (zaman
pertengahan), yang pemikirannya bercirikan teosentris dan banyak dipengaruhi
oleh dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga (zaman moderen), yang
pemikirannya bercirikan antroposentris, yaitu menjadikan manusia sebagai objek
analisis filsafat. Periode keempat (zaman kontemporer), yang logosentris dan
teks menjadi sebuag tema sentral diskursus para filosof. Namun, di dalam resume
ini penulis akan lebih banyak membahas tentang perkembangan filsafat barat pada
abad moderen dan kontemporer.
Sedangkan tujuan mempelajari
filsafat barat adalah agar mampu mendeskripsikan ruang lingkup kajian dalam
filsafat barat, mengetahui dan memahami epistimologi dari pemikiran para filsuf
barat, melatih diri untuk berpikir secara kritis dalam proses pendidikan. Dan
memiliki wawasan yang luas tentang tanggung jawab keilmu, terutama tentang
filsafat yang ada di barat.
B.
Sejarah Singkat Filsafat Barat
(Pertengahan-Modern)
1. Zaman Renaissance
1. Zaman Renaissance
Sejarah filsafat modern barat adalah berawal dari pemikiran di zaman abad
pertenga-han dan memuncak pada renaissance.[1] Ciri utama pemikiran pada
zaman ini dilambangkan dengan “subjek” sebagai pusat pemikiran. Subjek yang
dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap sebagai pusat dari segala
sesuatu (antroposentris).[2] Sedangkan alam pemikiran abad pertengahan yang didominasi
otoritas gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan.
Pada zaman ini muncullah pemikiran rasionalisme Rene Descartes. Ia mencetuskan metode baru dalam pendekatan filsafat yaitu
“kesangsian metodis”. Dalam hal ini Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada pengalaman, kenyataan, dan pengetahuannya.
Ketika ia ragu pada segala sesuatu maka ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu keberadaan akan dirinya yang sedang ragu. Descartes yang ragu adalah kenyataan yang tidak
terbantahkan. Ia ragu, ia berpikir. Ia berpikir, maka ia ada. Adanya dia karena
ia berpikir dan sangsi. Descartes menegaskannya dalam kalimat “Cogito, ergo
sum”. Je pense, done je suis. Saya berpikir, maka saya ada.
Dalam
konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio dapat mencapai
kepastian akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk ini, ada tiga
hal yang jelas dan tegas (clare et distincte) yaitu Allah, pemikiran
(cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan bagian dari bidang
psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia, kedua hal
itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai pemikir
dualisme. Jiwa dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu sebagai
akibat kerja kelenjar kecil dibawah otak.
2.
Zaman Barok
Setelah adanya pemikiran
Descartes, pada zaman barok muncul pula pemikiran Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise
Pasca. Kata
kunci zaman Barok antara lain rasio, empiris, toleransi, dan kebebasan.
Baruch Spinoza memandang
substansi alam dan Tuhan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pengetahuan manusia adalah kontemplasi
yang memberi persesuaian dengan keseluruhan, kebebasan dan
kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi tunggal.
Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade. Monade-monade itu
seperti jiwa. Ia dapat berpikir dan
memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu harmonia praestabilita
yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Adapun Blaise Pascal berada
pada posisi anti rasionalisme. Menurutnya, hati memiliki alasan-alasan yang sama sekali tidak
dapat diketahui akal. Hal ini dikarenakan keputusan-keputusan yang dibuat manusia itu lebih banyak penyang-kalan atas akal sehat daripada sebaliknya.
3.
Zaman Fajar Budi
Zaman fajar budi ini lahir diujung zaman Barok. Para pemikir era fajar budi
memandang bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia kini bertumpu pada rasio. Sebagaimana pemikiran yang telah dicetuskan oleh para filsuf
Prancis, seperti Voltaire, D’Alembert,
Diderot, dan Rousseau. Dan juga di Jerman, seperti Wolff, Lessing dan Immanuel Kant.
Sementara empirisme pada zaman ini juga berlaku, seperti
halnya di Inggris yang telah memunculkan tokoh
seperti Locke,
Berkeley dan Hume. Pemikiran
empirisme menjadi penanda paling menonjol di zaman fajar budi. Jika
rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam memperoleh ilmu pengetahuan,
maka empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dicapai oleh hasil kerja panca
indera. Akibat dari terbatasnya panca
indera manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679)
dan John Lock men-jadikan
paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi otak saya, kata Lock
terdiri dari ide-ide. Ada ide-ide tunggal (simple idea) dan ada ide-ide jamak
(complex idea). Ide yang peertama berhubungan langsung dengan pengalaman inderawi.
Ide yang kedua merupakan hubungan dari ide-ide yang pertama. Misalnya sebab,
akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat diamati melalui kombinasi
ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume
mengikuti pemikiran Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi
agak mustahil. Bagi Hume, pendapat Berkeley tentang subjek yang sedang
mengamati dihapuskan
oleh Hume. Bagi Hume, aku sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran
hanyalah kesan (impression) semata-mata. Kesan merupakan bahan darimana
pengetahuan tersusun. Karena itu, kesadaran manusia bukanlah suatu jiwa. Kesadaran
hanyalah deretan terus-menerus dari kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724-
1804). Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta di buang. Karenanya, Kant berupa
membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa
pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan
pikiran. Ia membagi tiga tingkatan pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan
yang berasal dari pengalaman yang disebutnya Sinneswahrnehmung.
Kedua, pengetahuan yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand.
Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang
disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori
yaitu segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori
yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan
adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah
berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan
ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas
objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa kehadapan
manusia untuk diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut revolusi Copernican
kearah subjek.
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant menyebutkan beberapa macam kaidah tindakan
manusia, yaitu kaidah yang bersifat
subjektif (maksim-maksim), kaidah yang berlaku secara umum
objektif (undang-undang), syarat untuk mencapai sesuatu
yang bersifat umum (imperatif
hipotetis dan imperatif
kategoris). Tujuan
etika bagi Kant adalah kebaikan, dan kebaikan menghasilkan kebahagiaan
sempurna.
4.
Zaman Romantik
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar
budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman romantik dimana para filsuf
Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan Friedrich Wilhem Joseph
von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran Kant.
Bagi Fitche, idealisme Kant tidak cukup konsekuen.
Menurutnya, bidang dimana benda
ada pada dirinya sendiri, sama sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada
pikiran yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat
memikirkan dirinya sendiri. Maka dengan demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek yang bukan aku ini disebut anti tesis. Jadi subjek yang
berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya subjek
dan objek merupakan proses sintesis.
Selanjutnya, pemikiran idealisme Jerman ini memuncak pada George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831). Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal
gejala-gejala diatasi Hegel dengan konsep pemberian struktur oleh
kategori-kategori dari akal. Jadi dalam filsafat Hegel, tidak ada yang tidak
bisa dikenal. Seluruh system filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu
rangkaian dialektis tiga tahap yaitu tesis, anti tesis dan sistesis. Disini
Hegel menggunakan terminologi Fitche. Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem
filsafat yang terdiri atas ilmu logika, filsafat alam dan filsafat roh. Di
dalam ketiga cabang filsafat ini, hampir semua penyelidikan filsaft dirangkum.
Bagian paling menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa
seluruh kenyataan adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian
roh. Roh ini adalah Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali
lain (transendensi), melainkan Allah yang imanen. Sistem Allah Hegel hampir mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
5.
Zaman Moderen (Abad 19 M – Abad 20 M)
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern.
Ada bermacam pemikiran filsafat setelahnya, namun yang paling mudah diidentifikasi adalah
terpisahnya filsafat menurut teritori negara. Paling tidak ada tiga wilayah, yaitu filsafat Jerman, filsafat Perancis. dan filsafat Anglo-Saxon.
Filsafat Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat
di negeri yang berbahasa Inggris (Anglo-Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume. Filsafat
Perancis hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte. Namun
beberapa filsuf Prancis di era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil
sebagai filsuf eksistensialisme yang melanjutkan pekerjaan para filsuf di
negeri berbahasa Jerman seperti Soren Kierkegaard (1838-1855) dan Friedrich Nietszche
(1844-1900).[3]
[1] Renaissance,
kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’.
Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang
merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang
kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman
renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia
dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam mengembangkan
seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. (Menurut Lorens Bagus. 1996. Kamus
filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954. Dalam karya tulisnya Firdaus
M. Yunus: httpe-dokumen.kemenag.go.idfilesTrL4kHFM1339045469.pdf)
[2] Harry
Hamersma. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Cetakan Kelima.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar