Senin, 27 Januari 2014

Filsafat Barat Modern

A.    Pendahuluan
Filsafat barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran yang ada di dunia barat. Pengkajian terhadap filsafat ini dimulai sejak abad pertengahan (6 M-12 M), fase-fase kebangkitan kembali (renaisance) pada abad 14 M – 16 M. Adapun ruang lingkup kajian filsafat barat dapat diabagi kedalam empat periode, yaitu: Periode pertama (zaman Yunani Kuno), yang pemikirannya bercirikan kosmo-sentris, yaitu mempertanyakan tentang kejadian alam semesta. Periode kedua (zaman pertengahan), yang pemikirannya bercirikan teosentris dan banyak dipengaruhi oleh dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga (zaman moderen), yang pemikirannya bercirikan antroposentris, yaitu menjadikan manusia sebagai objek analisis filsafat. Periode keempat (zaman kontemporer), yang logosentris dan teks menjadi sebuag tema sentral diskursus para filosof. Namun, di dalam resume ini penulis akan lebih banyak membahas tentang perkembangan filsafat barat pada abad moderen dan kontemporer.
Sedangkan tujuan mempelajari filsafat barat adalah agar mampu mendeskripsikan ruang lingkup kajian dalam filsafat barat, mengetahui dan memahami epistimologi dari pemikiran para filsuf barat, melatih diri untuk berpikir secara kritis dalam proses pendidikan. Dan memiliki wawasan yang luas tentang tanggung jawab keilmu, terutama tentang filsafat yang ada di barat.

B.     Sejarah Singkat Filsafat Barat (Pertengahan-Modern)
1.      Zaman Renaissance
Sejarah filsafat modern barat adalah berawal dari pemikiran di zaman abad pertenga-han dan memuncak pada renaissance.[1] Ciri utama pemikiran pada zaman ini dilambangkan dengan “subjek” sebagai pusat pemikiran. Subjek yang dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap sebagai pusat dari segala sesuatu (antroposentris).[2] Sedangkan alam pemikiran abad pertengahan yang didominasi otoritas gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan.
Pada zaman ini muncullah pemikiran rasionalisme Rene Descartes. Ia mencetuskan metode baru dalam pendekatan filsafat yaitu “kesangsian metodis”. Dalam hal ini Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada pengalaman, kenyataan, dan pengetahuannya. Ketika ia ragu pada segala sesuatu maka ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu keberadaan akan dirinya yang sedang ragu. Descartes yang ragu adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia ragu, ia berpikir. Ia berpikir, maka ia ada. Adanya dia karena ia berpikir dan sangsi. Descartes menegaskannya dalam kalimat “Cogito, ergo sum”. Je pense, done je suis. Saya berpikir, maka saya ada.
Dalam konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio dapat mencapai kepastian akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk ini, ada tiga hal yang jelas dan tegas (clare et distincte) yaitu Allah, pemikiran (cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan bagian dari bidang psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia, kedua hal itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai pemikir dualisme. Jiwa dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu sebagai akibat kerja kelenjar kecil dibawah otak.
      2.      Zaman Barok
Setelah adanya pemikiran Descartes, pada zaman barok muncul pula pemikiran Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise Pasca. Kata kunci zaman Barok antara lain rasio, empiris, toleransi, dan kebebasan.
Baruch Spinoza memandang substansi alam dan Tuhan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pengetahuan manusia adalah kontemplasi yang memberi persesuaian dengan keseluruhan, kebebasan dan kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi tunggal. Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade. Monade-monade itu seperti jiwa. Ia dapat berpikir dan memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu harmonia praestabilita yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Adapun Blaise Pascal berada pada posisi anti rasionalisme. Menurutnya, hati memiliki alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat diketahui akal. Hal ini dikarenakan keputusan-keputusan yang dibuat manusia itu lebih banyak penyang-kalan atas akal sehat daripada sebaliknya.
      3.      Zaman Fajar Budi
Zaman fajar budi ini lahir diujung zaman Barok. Para pemikir era fajar budi memandang bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia kini bertumpu pada rasio. Sebagaimana pemikiran yang telah dicetuskan oleh para filsuf Prancis, seperti Voltaire, D’Alembert, Diderot, dan Rousseau. Dan juga di Jerman, seperti Wolff, Lessing dan Immanuel Kant.
Sementara empirisme pada zaman ini juga berlaku, seperti halnya di Inggris yang telah memunculkan tokoh seperti Locke, Berkeley dan Hume. Pemikiran empirisme menjadi penanda paling menonjol di zaman fajar budi. Jika rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dicapai oleh hasil kerja panca indera. Akibat dari terbatasnya panca indera manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Lock men-jadikan paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi otak saya, kata Lock terdiri dari ide-ide. Ada ide-ide tunggal (simple idea) dan ada ide-ide jamak (complex idea). Ide yang peertama berhubungan langsung dengan pengalaman inderawi. Ide yang kedua merupakan hubungan dari ide-ide yang pertama. Misalnya sebab, akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat diamati melalui kombinasi ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume mengikuti pemikiran Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi agak mustahil. Bagi Hume, pendapat Berkeley tentang subjek yang sedang mengamati dihapuskan oleh Hume. Bagi Hume, aku sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran hanyalah kesan (impression) semata-mata. Kesan merupakan bahan darimana pengetahuan tersusun. Karena itu, kesadaran manusia bukanlah suatu jiwa. Kesadaran hanyalah deretan terus-menerus dari kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724- 1804). Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta di buang. Karenanya, Kant berupa membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan pikiran. Ia membagi tiga tingkatan pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang disebutnya Sinneswahrnehmung. Kedua, pengetahuan yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand. Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa kehadapan manusia untuk diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut revolusi Copernican kearah subjek.
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant menyebutkan beberapa macam kaidah tindakan manusia, yaitu kaidah yang bersifat subjektif (maksim-maksim), kaidah yang berlaku secara umum objektif (undang-undang), syarat untuk mencapai sesuatu yang bersifat umum (imperatif hipotetis dan imperatif kategoris). Tujuan etika bagi Kant adalah kebaikan, dan kebaikan menghasilkan kebahagiaan sempurna.
      4.      Zaman Romantik
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman romantik dimana para filsuf Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan Friedrich Wilhem Joseph von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran Kant.
Bagi Fitche, idealisme Kant tidak cukup konsekuen. Menurutnya, bidang dimana benda ada pada dirinya sendiri, sama sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada pikiran yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat memikirkan dirinya sendiri. Maka dengan demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek yang bukan aku ini disebut anti tesis. Jadi subjek yang berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya subjek dan objek merupakan proses sintesis.
Selanjutnya, pemikiran idealisme Jerman ini memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal gejala-gejala diatasi Hegel dengan konsep pemberian struktur oleh kategori-kategori dari akal. Jadi dalam filsafat Hegel, tidak ada yang tidak bisa dikenal. Seluruh system filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu rangkaian dialektis tiga tahap yaitu tesis, anti tesis dan sistesis. Disini Hegel menggunakan terminologi Fitche. Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem filsafat yang terdiri atas ilmu logika, filsafat alam dan filsafat roh. Di dalam ketiga cabang filsafat ini, hampir semua penyelidikan filsaft dirangkum. Bagian paling menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa seluruh kenyataan adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian roh. Roh ini adalah Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali lain (transendensi), melainkan Allah yang imanen. Sistem Allah Hegel hampir mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
      5.      Zaman Moderen (Abad 19 M – Abad 20 M)
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern. Ada bermacam pemikiran filsafat setelahnya, namun yang paling mudah diidentifikasi adalah terpisahnya filsafat menurut teritori negara. Paling tidak ada tiga wilayah, yaitu filsafat Jerman, filsafat Perancis. dan filsafat Anglo-Saxon. Filsafat Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat di negeri yang berbahasa Inggris (Anglo-Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume. Filsafat Perancis hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte. Namun beberapa filsuf Prancis di era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil sebagai filsuf eksistensialisme yang melanjutkan pekerjaan para filsuf di negeri berbahasa Jerman seperti Soren Kierkegaard (1838-1855) dan Friedrich Nietszche (1844-1900).[3]





[1] Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam mengembangkan seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. (Menurut Lorens Bagus. 1996. Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954. Dalam karya tulisnya Firdaus M. Yunus: httpe-dokumen.kemenag.go.idfilesTrL4kHFM1339045469.pdf)
[2] Harry Hamersma. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Cetakan Kelima. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar