Minggu, 06 April 2014

Problem-problem Epistemologi dalam Filsafat Agama

Latar Belakang Masalah
Keadaan zaman yang terus berubah merupakan masalah yang tidak dapat dihindari oleh segenap makhluk. Masalah-masalah tersebut membutuhkan penye-lesaian yang sehat dari berbagai pihak, terutama oleh manusia yang beragama dan berakal. Melalui dua potensi tersebut, manusia diharapkan mampu menanggapi segala persoalan secara bijak. Kebijakan tersebut baik terhadap masalah dalam kehidupan beragama, sosial, politik, maupun ekonomi. Adapun bijak atau tidak-nya solusi yang diberikan sangatlah tergantung pada seberapa besar pemahaman terhadap agama yang diyakininya.
Berkaitan dengan masalah yang muncul dalam kehidupan beragama, maka telah banyak pula perspektif yang bermunculan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perspektif yang berbeda ini ternyata tidak terlepas daripada metode dan konsep keilmuan yang digunakan. Secara garis besar, metode dan konsep tersebut merujuk pada kemampuan akal, hati, dan pengalaman inderawi. Namun demikian, ketika bersesuai dengan pedoman agama, maka tidak dapat terpungkiri bahwa setiap metode tersebut memiliki kekurangan dan keterbatasan. Akibatnya, kebe-radaan konsep agama senantiasa dijadikan sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan segala persoalan.
Berdasarkan kekurangmampuannya didalam menyelesaikan masalah yang sampai pada taraf tertentu, maka dilakukan lah pengkajian secara radikal, integral, sistematis, dan konprehensif terhadap agama. Hal ini bertujuan agar terperolehnya kepahaman yang utuh terhadap agama dan terselesainya segala masalah yang ada secara baik dan benar. Akibat dari pengkajian ini maka terumuslah konsep epistimologi agama secara sempurna antara potensi yang telah dianugerahkan Tuhan didalam diri manusia dengan petunjuk yang ada di dalam pedoman keagamaan itu sendiri.

Meskipun telah begitu jelasnya ranah keilmuan yang berlaku, tetap saja ada masalah baru yang menghalangi keberadaan dan keberlangsungan didalam-nya. Apa saja masalah-masalah tersebut dan hal apa saja yang melatarbelakangi-nya, sehingga seolah-olah tidak akan ada yang namanya kebenaran yang hakiki. Berikut inilah persoalan tersebut akan penulis bahas secara lebih lanjut berdasarkan sumber-sumber yang berkaitan.

Senin, 27 Januari 2014

Filsafat Bahasa

  
Makalah
PERMAINAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN
Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa

Disusun Oleh:
Kelompok II
                             Nazari Mahda           : 311102948
                             Lukman                     : 311102959
                             Melisa Meina           : 311102954
                             Agustiana                  : 311102930




JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT 
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013

Bab II
Pembahasan
A.    Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein (Kristen Protestan) dan ibunya bernama Leopoldine Kalmus (Katolik). Pada tahun 1906, Wittgenstein belajar teknik di kota Berlin. Namun pada tahun 1908 ia melanjutkan belajar tehnik di kota Manchester. Selanjutnya, Wittgenstein juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari ilmu matematika. Sehingga pada tahun 1911 ia bertemu dengan Gottlob Frege, yaitu seorang ilmuan Jerman yang ahli dalam bidang matematika. Pertemuan Wittgenstein dengan Frege ternyata memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada Bertrand Russel di Cambridge.[1]
Seiring dengan perkembangannya, Ludwig Wittgenstein juga dikenal sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran, sehingga pemikirannya sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Pada masa Wittgenstein I (Tractacus Logico-Philosophicus, 1922), Wittgenstein begitu ketat dalam memapar kan istilah bahasa logika, yaitu dengan mengidealisasikan kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas. Kemudian, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II (Philosphical Investigations, 1953), Wittgenstein seakan-akan membantah pemikirannya sendiri dengan menyata-kan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman makna, sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah tata permainan bahasa (language game).[2]

B.     Hakikat Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Permainan bahasa (language games) merupakan pemikiran kedua dari pemikiran Wittgenstein II. Berbeda dari periode pertama, pada periode kedua ini Wittgenstein telah mencetuskan teori tentang filsafat bahasa biasa (ordinary language) dan teori permainan bahasa (language games). Pada awalnya Wittgen-stein menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, namun pada perkembangan selanjutnya ia menyakini bahwa bahasa sehari-sehari sangatlah memadai untuk melakukan hal itu.
Jika kita mengkaji pemikiran Wittgenstein pada periode kedua tentang tata permainan bahasa (language games). Maka ia mengatakan bahwa hakikat permainan bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya. Dalam hal ini juga Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia.[3]
Dengan demikian, makna suatu kata sangatlah tergantung pada situasi, tempat dan waktu kata-kata tersebut digunakan dalam suatu kalimat. Menurut Wittgenstein, kekacauan dalam pemakaian bahasa disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan timbul ketika aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang bukan seharusnya.[4]
Konteks inilah sebenarnya maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya. Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop atau berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”.[5]
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak Misalnya kata “aku”, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tetapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampuradukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.[6]
Kemudian akan berbeda lagi kasusnya jika sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu, maka tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks ekonomi, maka jelas maknanya. Tetapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, maka bisa memicu kesalahpahaman arti. Dalam pergaulan sehari-hari kata tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap dirumahnya”.[7]
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya dan tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.



[1] Kaelan, Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstain: Relevansi Bagi Pengembangan Prakmatik, dalam makalahnya Iman Santoso, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), Hal. 6, Https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc. Apload: 16 November 2013, 22:00 Wib.
[2] Johanes B. K. Soro. Mengenal Ludwig Wittgenstein dan Pemikirannya. Http://my.opera. com/ Nyocor/blog/. Apload: 17 November 2013. 20:10 Wib.
[3] Kaelan. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein,... Hal.133 – 146.
[4] Iman Santoso. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin. (Yogyakarta: Universitas Gadjahmada. 2013). Hal. 9. Https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad. Apload: 16 November 2013. 22:00 Wib.
[5] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise. blogspot.com/2012/11/. Apload: 16 November 2013. 20:45.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.

Filsafat Barat Modern

A.    Pendahuluan
Filsafat barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran yang ada di dunia barat. Pengkajian terhadap filsafat ini dimulai sejak abad pertengahan (6 M-12 M), fase-fase kebangkitan kembali (renaisance) pada abad 14 M – 16 M. Adapun ruang lingkup kajian filsafat barat dapat diabagi kedalam empat periode, yaitu: Periode pertama (zaman Yunani Kuno), yang pemikirannya bercirikan kosmo-sentris, yaitu mempertanyakan tentang kejadian alam semesta. Periode kedua (zaman pertengahan), yang pemikirannya bercirikan teosentris dan banyak dipengaruhi oleh dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga (zaman moderen), yang pemikirannya bercirikan antroposentris, yaitu menjadikan manusia sebagai objek analisis filsafat. Periode keempat (zaman kontemporer), yang logosentris dan teks menjadi sebuag tema sentral diskursus para filosof. Namun, di dalam resume ini penulis akan lebih banyak membahas tentang perkembangan filsafat barat pada abad moderen dan kontemporer.
Sedangkan tujuan mempelajari filsafat barat adalah agar mampu mendeskripsikan ruang lingkup kajian dalam filsafat barat, mengetahui dan memahami epistimologi dari pemikiran para filsuf barat, melatih diri untuk berpikir secara kritis dalam proses pendidikan. Dan memiliki wawasan yang luas tentang tanggung jawab keilmu, terutama tentang filsafat yang ada di barat.

B.     Sejarah Singkat Filsafat Barat (Pertengahan-Modern)
1.      Zaman Renaissance
Sejarah filsafat modern barat adalah berawal dari pemikiran di zaman abad pertenga-han dan memuncak pada renaissance.[1] Ciri utama pemikiran pada zaman ini dilambangkan dengan “subjek” sebagai pusat pemikiran. Subjek yang dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap sebagai pusat dari segala sesuatu (antroposentris).[2] Sedangkan alam pemikiran abad pertengahan yang didominasi otoritas gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan.
Pada zaman ini muncullah pemikiran rasionalisme Rene Descartes. Ia mencetuskan metode baru dalam pendekatan filsafat yaitu “kesangsian metodis”. Dalam hal ini Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada pengalaman, kenyataan, dan pengetahuannya. Ketika ia ragu pada segala sesuatu maka ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu keberadaan akan dirinya yang sedang ragu. Descartes yang ragu adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia ragu, ia berpikir. Ia berpikir, maka ia ada. Adanya dia karena ia berpikir dan sangsi. Descartes menegaskannya dalam kalimat “Cogito, ergo sum”. Je pense, done je suis. Saya berpikir, maka saya ada.
Dalam konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio dapat mencapai kepastian akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk ini, ada tiga hal yang jelas dan tegas (clare et distincte) yaitu Allah, pemikiran (cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan bagian dari bidang psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia, kedua hal itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai pemikir dualisme. Jiwa dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu sebagai akibat kerja kelenjar kecil dibawah otak.
      2.      Zaman Barok
Setelah adanya pemikiran Descartes, pada zaman barok muncul pula pemikiran Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise Pasca. Kata kunci zaman Barok antara lain rasio, empiris, toleransi, dan kebebasan.
Baruch Spinoza memandang substansi alam dan Tuhan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pengetahuan manusia adalah kontemplasi yang memberi persesuaian dengan keseluruhan, kebebasan dan kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi tunggal. Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade. Monade-monade itu seperti jiwa. Ia dapat berpikir dan memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu harmonia praestabilita yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Adapun Blaise Pascal berada pada posisi anti rasionalisme. Menurutnya, hati memiliki alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat diketahui akal. Hal ini dikarenakan keputusan-keputusan yang dibuat manusia itu lebih banyak penyang-kalan atas akal sehat daripada sebaliknya.
      3.      Zaman Fajar Budi
Zaman fajar budi ini lahir diujung zaman Barok. Para pemikir era fajar budi memandang bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia kini bertumpu pada rasio. Sebagaimana pemikiran yang telah dicetuskan oleh para filsuf Prancis, seperti Voltaire, D’Alembert, Diderot, dan Rousseau. Dan juga di Jerman, seperti Wolff, Lessing dan Immanuel Kant.
Sementara empirisme pada zaman ini juga berlaku, seperti halnya di Inggris yang telah memunculkan tokoh seperti Locke, Berkeley dan Hume. Pemikiran empirisme menjadi penanda paling menonjol di zaman fajar budi. Jika rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dicapai oleh hasil kerja panca indera. Akibat dari terbatasnya panca indera manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Lock men-jadikan paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi otak saya, kata Lock terdiri dari ide-ide. Ada ide-ide tunggal (simple idea) dan ada ide-ide jamak (complex idea). Ide yang peertama berhubungan langsung dengan pengalaman inderawi. Ide yang kedua merupakan hubungan dari ide-ide yang pertama. Misalnya sebab, akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat diamati melalui kombinasi ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume mengikuti pemikiran Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi agak mustahil. Bagi Hume, pendapat Berkeley tentang subjek yang sedang mengamati dihapuskan oleh Hume. Bagi Hume, aku sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran hanyalah kesan (impression) semata-mata. Kesan merupakan bahan darimana pengetahuan tersusun. Karena itu, kesadaran manusia bukanlah suatu jiwa. Kesadaran hanyalah deretan terus-menerus dari kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724- 1804). Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta di buang. Karenanya, Kant berupa membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan pikiran. Ia membagi tiga tingkatan pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang disebutnya Sinneswahrnehmung. Kedua, pengetahuan yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand. Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa kehadapan manusia untuk diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut revolusi Copernican kearah subjek.
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant menyebutkan beberapa macam kaidah tindakan manusia, yaitu kaidah yang bersifat subjektif (maksim-maksim), kaidah yang berlaku secara umum objektif (undang-undang), syarat untuk mencapai sesuatu yang bersifat umum (imperatif hipotetis dan imperatif kategoris). Tujuan etika bagi Kant adalah kebaikan, dan kebaikan menghasilkan kebahagiaan sempurna.
      4.      Zaman Romantik
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman romantik dimana para filsuf Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan Friedrich Wilhem Joseph von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran Kant.
Bagi Fitche, idealisme Kant tidak cukup konsekuen. Menurutnya, bidang dimana benda ada pada dirinya sendiri, sama sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada pikiran yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat memikirkan dirinya sendiri. Maka dengan demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek yang bukan aku ini disebut anti tesis. Jadi subjek yang berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya subjek dan objek merupakan proses sintesis.
Selanjutnya, pemikiran idealisme Jerman ini memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal gejala-gejala diatasi Hegel dengan konsep pemberian struktur oleh kategori-kategori dari akal. Jadi dalam filsafat Hegel, tidak ada yang tidak bisa dikenal. Seluruh system filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu rangkaian dialektis tiga tahap yaitu tesis, anti tesis dan sistesis. Disini Hegel menggunakan terminologi Fitche. Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem filsafat yang terdiri atas ilmu logika, filsafat alam dan filsafat roh. Di dalam ketiga cabang filsafat ini, hampir semua penyelidikan filsaft dirangkum. Bagian paling menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa seluruh kenyataan adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian roh. Roh ini adalah Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali lain (transendensi), melainkan Allah yang imanen. Sistem Allah Hegel hampir mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
      5.      Zaman Moderen (Abad 19 M – Abad 20 M)
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern. Ada bermacam pemikiran filsafat setelahnya, namun yang paling mudah diidentifikasi adalah terpisahnya filsafat menurut teritori negara. Paling tidak ada tiga wilayah, yaitu filsafat Jerman, filsafat Perancis. dan filsafat Anglo-Saxon. Filsafat Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat di negeri yang berbahasa Inggris (Anglo-Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume. Filsafat Perancis hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte. Namun beberapa filsuf Prancis di era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil sebagai filsuf eksistensialisme yang melanjutkan pekerjaan para filsuf di negeri berbahasa Jerman seperti Soren Kierkegaard (1838-1855) dan Friedrich Nietszche (1844-1900).[3]





[1] Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam mengembangkan seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. (Menurut Lorens Bagus. 1996. Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954. Dalam karya tulisnya Firdaus M. Yunus: httpe-dokumen.kemenag.go.idfilesTrL4kHFM1339045469.pdf)
[2] Harry Hamersma. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Cetakan Kelima. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 3.

Minggu, 05 Januari 2014

MAKNA BERFIKIR FILOSOFIS

Di Asrama Haji, 07 April 2012 
Beberapa sumber buku menjelaskan bahwa berfikir filosofis adalah berfikir secara mendalam terhadap segala sesuatu. Namun sedalam manakah persoalan segala sesuatu yang dapat di jawab oleh filsafat? Berfikir mendalam terhadap segala sesuatu. Menurut saya ini adalah kalimat yang kurang tepat. Akibatnya tidak sedikit orang beranggapan bahwa berfikir filsafat menjadikan orang sesat, sehingga banyak dari mereka yang takut belajar filsafat. Nah, sebenarnya apa sih maksud berfikir mendalam terhadap segala sesuatu? Berikut penjelasannya:
Pertama sekali perlu disadari bahwa kita adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Mengapa Yang Maha Pencipta membatasi ilmu-Nya kepada segenap makhluk-Nya? jawaban sederhananya ialah agar ada beda antara diri-Nya dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan diri-Nya. Hal ini memberikan makna kepada manusia bahwa sehebat apapun ia, tetap saja ada yang lebih hebat darinya, yaitu penciptanya. Selanjutnya perlu kita sadari pula bahwa meskipun ilmu kita terbatas, namun tidaklah dianjurkan kepada kita untuk tidak berusaha, tidak mau belajar ataupun bermalas diri. Artinya segala potensi yang kita miliki mesti dapat berfungsi dengan sebaik mungkin berdasar petunjuk-Nya. 
Biasanya segala sesuatu yang ada dipelajari secara bertahap. Dalam hal ini, tahapan tersebut terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu ilmu sains, ilmu filsafat, dan ilmu mistik. Sains adalah ilmu yang mengkaji tentang sesuatu sebatas empiris (nyata), sedangkan Filsafat ialah ilmu yang mengkaji tentang sesuatu yang sebatas logis. Jika tidak logis (artinya akal tidak sanggup menjawab) maka disinilah berlakunya mistik, yaitu ilmu yang mengkaji tentang sesuatu yang tidak nyata dan tidak sanggup dipikirkan oleh akal. Sabjek yang berperan dalam mistik adalah hati yang dipraktekkan melalui ilmu tasawuf.
Berdasarkan tahapan-tahapan ini, maka dapat saya tegaskan bahwa pengertian mempelajari segala sesuatu adalah proses pembelajaran yang memiliki tahapan-tahapan tertentu bersadarkan batas potensi yang dimiliki oleh manusia. Kalimat mempelajari segala sesuatu tersebut mesti dipahami sebagai sesuatu yang memiliki keterbatasan. Meskipun banyak juga kalimat lain yang menjelaskan tentang pengertian filsafat, namun perlu digaris bawahi bahwa filsafat itu adalah ilmu manusia yang memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, wahai teman-teman semua mari kita belajar. Mari kita fungsikan segenap kemampuan yang ada. Jangan kita takut belajar filsafat karena dalam filsafat itu juga berlaku belajar secara sistematis, dan sebatas yang sanggup dipikirkan akal.

Demikianlah dari saya, lebih dan kurang saya mohon maaf. Adapun saran dan kritikan dari para pembaca sangat saya harapkan. Terimakasih.
Salah satu rujukan yang menjelaskan tentang pengertian-pengertian filsafat ialah sebagai berikut:
1.   Dedi Supriadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Cet. II. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 15-22.
2.   Sirajuddin Zar. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Cet. Ke IV. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 1-8.

[Telah tersunting di Rumah Kos, Desa Rukoh Kec. Syiah Kuala. Kota Banda Aceh, pada 05 Januari 2014]

Sabtu, 04 Januari 2014

Filsafat Ilmu dan Filsafat Umum

Oleh: Zenal Ardani, 7 April 2012 pukul 21:53.
A.  Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
  • Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  • Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  • Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  • Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  • Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
       Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

B. Substansi Filsafat Ilmu

Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
  • Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
  • Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
  • Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
  • Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
C. Filsafat Umum.
       Filsafat Umum  merupakan telaah kefilsafatan yang membahas tentang sesuatu secara mendalam berdasarkan pada kekuatan pikiran belaka atau logika rasional. Pengertian filsafat yang dirumuskan oleh para filsuf pada dasarnya mengacu pada penggunaan akal dalam menemukan jawaban atas suatu permasalahan. Hal ini merupakan wujud penyempitan makna filsafat, dimana filsafat ditekankan pada latihan berpikir secara mendalam untuk memenuhi kesenangan akal.

D. Fungsi Filsafat Umum
1.  Agar terlatih berpikir serius.
2.  Agar mampu memahami filsafat.
3.  Agar mampu jadi filosof.
4.  Agar mampu jadi warga Negara yang baik.

E.  Substansi Filsafat Umum
1.  Menyelidiki bagian materia yang abstraknya bukan yg empiris.
2.  Menyelidiki sesuatu yang lebih luas dari objek materia sains seperti : Tuhan & hari akhir.

[1] http://hima89.weebly.com/1/post/2010/02/-perbedaan-filsafat-umum-dan-filsafat-ilmu.html