Sumber: Karya Syaikh Nadim Al-jisr
Judul:
Mengembara Mencari Tuhan: Sebuah Novel Religius Petualangan Intelektual Dalam Menemukan Kebenaran
Penerjemah:
H.M. Mochtar zoerni. Penyunting: Abdullah Hasan. Sebagai Cetakan Pertama, Juni
2005. Dan Diterbitkan di Bandung, oleh Q-Press Pustaka Hidayah.
…………………………………………………………………………………………………………
Hayran
bin al-Adh’af al-Ma’i al-Punjabi dari Universitas Peshawar (Pakistan) bersama
dengan Syeikh Abu an-Nur al-Mawzun as-Samarkandi Khartank berkisah:
BAGIAN
PERTAMA
Filsafat merupakan jalan keimanan kepada Allah melalui
metode akal yang menjadi dasar bangunan keimanan. Dan Filsafat itu samudera,
bukan sembarang samudera. Orang-orang yang mengarunginya seba-tas tepian dan
pantai-pantainya, akan menemui bahaya dan kesesatan. Namun, mereka akan
memperoleh keamanan dan keimanan apabila sampai ditengah-tengahnya atau
bagian-bagiannya yang dalam.
Pendalaman filsafat merupakan kewajiban pokok bagi
setiap orang agar mereka mampu mengemban apa yang dituntut oleh masyarakat,
yakni membimbing kepada kebenaran dan mengajak manusia kepada Allah.
BAGIAN
KEDUA
Filsafat itu ingin megetahui hakikat segala sesuatu,
termasuk asal dan tujuannya. Ia tidak merasa cukup dengan hal yang tampak. Ia
ingin menembus semua yang tersembunyi. Ia pun tidak merasa cukup dengan alam
yang terindera. Ia ingin mengetahui apa yang ada dibalik itu dan yang terjadi
sebelumnya. Menurut Syeikh Abu an-Nur al-Mawzun filsafat ialah sebagai upaya
rasio untuk mengetahui hakikat semua prinsip-prinsip yang paling mendasar.
Kemudian, objek kajian dalam filsafat ini berbeda
dengan ilmu lain, misalnya pada objek kajian ilmu sains. Dimana sains cukup
dengan mempelajari berbagai gejala alam semesta, termasuk tata aturan dan
hukum-hukumnya. Sedangkan filsafat membahas asal-usul dan sebab-sebab
keberadaannya. Seorang filosof, melalui pengkajian dan pembahasannya,
memperbincangkan objek akal dan akal itu sendiri pada saat yang sama.
Berikut ini adalah bagian-bagian objek bahasan dalam
filsafat:
- Filsafat wujud (ontologi); bahasan
tentang alam semesta dan sebab-sebab keberadaannya.
- Filsafat Pengetahuan (epistemologi);
bahasan tentang akal, termasuk rahasia, hakikat, dan kemam-puannya.
- Filsafat nilai (aksiologi); bahasan
tentang hakikat kebaikan, keindahan, dan keburukan.
Kemudian, dalam melakukan pengkajian terhadap segala
pendapat atau persoalan tidak akan pernah sempurna dan benar kecuali setelah
mempelajari lebih dahulu berbagai metode pengetahuan dan sarana-sarananya.
Pembahasan epistemologi menjadi pengantar pembahasan ontologi dan merupakan
sarana untuk mengetahui kebenaran dalam persoalan metafisika.
A. PARA FILOSOF YUNANI
Para folosof yunani secara keseluruhan menunjukkan
kecerdasan dan keihlasannya didalam pem-bahasan, namun masing-masing dari
mereka mempunyai pandangan yang meremehkan dan meragukan alam semesta.
1. Thales; berprinsip
creatio ex nihilo, yakni alam tidak mungkin berupa sesuatu yang
diciptakan dari ketiadaan mutlak. Setiap permulaan pada hakikatnya adalah
perubahan. Oleh karena itu, mesti ada materi pertama yang menjadi sebab
timbulnya semua eksistensi. Materi yang azali tersebut menurut Thales ialah
air.
2. Anaximenes; Menurut
anaximenes, yang azali itu ialah udara. Dimana udara lebih lunak dari pada air
dan lebih mudah berganti dari pada air.
3. Anaximender; mengatakan
bahwa sesungguhnya pendapat tentang air dan udara (sebagai asal-muasal segala
sesuatu) tidak relevan dengan sifat-sifat semua yang ada. Menurut Anaximender
asal-muasal semua yang ada ialah materi yang tidak berbentuk, tidak
berkesudahan, dan tidak berbatas.
4. Pythagoras; mengatakan
bahwa air, udara, dan semua materi, bagaimanapun juga tidak pantas menjadi
asal-mula alam yang tersusun dari benda yang berbeda-beda, baik materi maupun
immateri. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang mempunyai sifat yang umum dan
mencakup semua hal, baik materi maupun benda lainnya kecuali sifat angka (le
nombre).
5. Xenophanes; membuang
sejumlah mitos yang berisi gagasan tentang bersatunya jasad manusia
dengan Tuhan (antropomorfisme). Tidak ada Tuhan selain Yang Satu; Eksistensi
Yang Paling Tinggi; Yang tidak tersusun seperti bentuk kita; Dan tidak berfikir
seperti kita berfikir. Akan tetapi seluruhnya Dia lihat, dengar, dan Dia
pikirkan. Sedangkan untuk mengetahui hakikat Tuhan yang Mahaesa dan Mahaagung,
Xenophanes menganggapnya sebagai suatu hal yang mustahil bagi akal manusia.
Xenophanes mengatakan didalam sejarah metafisika, tidak ada seorang pun yang
sanggup mengetahui Tuhan dengan tepat.
6. Parmenides; mengatakan
bahwa semua sifat-sifat yang ada itu mengalami perubahan dan kahan-curan,
kecuali satu sifat saja, yaitu sifat wujud (l’etre). Wujud yang abadi inilah
yang dapat dijadikan sebagai asal semua yang ada. Permenides memandang bahwa
semua yang kita lihat dan rasakan ini adalah sebagai gejala atau penampakan
(apparences), karena ia hancur dan berubah-ubah. Sedangkan wujud adalah abadi.
Dan sebaliknya, perubahan itu sendiri mengharuskan berkumpulnya wujud
dan non-wujud.
7. Milissus;
mengatakan bahwa setiap yang baru pasti ada permulaannya. Sedangkan zat yang
wujud tersebut tidaklah baru. Sebab, seandainya baru, tentu berasal dari zat
yang bukan wujud. Jadi, yang wujud tersebut tidak ada permulaannya, dan tidak
ada pula akhirnya. Karena ia tidak berakhir, berarti ia tidak bergerak, sebab
tidak ada tempat sesudahnya untuk bergerak menuju tempat itu. Ia juga tidak
berubah-ubah, jika ia berubah-ubah, berarti ia menjadi lebih dari satu. Oleh
karena itu, ia adalah esa, azali, abadi, hidup, berakal, dan tidak
berubah-ubah.
8. Heraclitus; mengatakan
bahwa segala sesuatu ialah seperti yang kita lihat, senantiasa barubah,
berganti-ganti secara terus-menerus, dan tidak pernah tetap didalam suatu
keadaan meskipun hanya sebentar saja. Suatu benda, biasa ada dan tidak ada
dalam suatu saat yang sama. Kesatuan waktu antara yang wujud dan yang bukan
wujud itu adalah akhir yang menjadi hakikat wujud. Kemudian, Heraclitus juga
mengatakan bahwa asal-muasal alam semesta ini ialah api yang kemudian berubah
menjadi kering, dan kering ini kembali lagi menjadi air, udara dan api.
9. Empledocles;
mengira bahwa wujud itu merupakan kumpulan dari empat unsur yaitu tanah, air,
api, dan udara. Dan ia juga mengatakan bahwa gerakan benda adalah gambaran dari
pertemuan dan perpisahan. Keduanya adalah suatu hal yang berlawanan, yang tidak
timbul dari satu kekuatan. Dua kekuatan tersebut ialah cinta dan benci. Bahkan
ia menganggap bahwa dewa-dewa dan jiwa-jiwa tersusun dari empat unsur. Api
adalah dewa Zeus, udara adalah dewa Hera, bumi adalah dewa Arus, dan air adalah
dewa keempat yang disebut Nestis. Ia juga mengatakan bahwa jiwa-jiwa manusia
tidak lain adalah dewa-dewa yang membuat kesalahan; dewa-dewa yang diputuskan
untuk menetap jauh dari orang-orang yang bahagia dengan bentuk jasad yang tidak
abadi. Jasad-jasad itu muncul dari bumi menjadi kepala tanpa leher, menjadi
tangan tanpa pundak, dan menjadi mata tanpa kening. Kemudian, ia saling
berdekatan satu sama lain karena kekuataan cinta. Dan dari sini, terjadilah
manusia.
10. Demokritus;
sebagai pencipta teori atom yang mengangkat tiga relitas dasar yaitu atom, keko-songan,
dan gerak. Menurut Demokritus, alam semesta ini terdiri dari bilangan atom-atom
yang tidak ada habisnya. Atom-atom ini serupa, sejenis, azali, abadi, dan
bergerak dengan sendirinya didalam suatu kekosongan. Dari gerakan dan
percampurannya, tersusunlah semua yang ada sehingga ter-ciptalah alam semesta.
Segala yang wujud tidak bisa timbul dari yang bukan wujud, sebagaimana yang
wujud tidak mungkin berubah menjadi tidak ada. Seandainya atom itu tidak berada
di dalam kekosongan, ia tidak mungkin bergerak. Kemudian, Demokritus juga
mengira bahwa gerak atom-atom itu merupakan akibat dari keniscayaan mutlak
yang mendorong untuk bergerak, bertemu, berjalan dan bercampur.
11. Anaxagoras;
mengatakan bahwa mustahil kekuatan dari keniscayaan mutlak itu mampu mencip-takan
keindahan dan tata aturan yang jelas pada alam ini. Kekuatan tersebut tidak
menghasilkan apapun selain menimbulkan kekacauan. Zat yang menggerakkan benda
tidak lain adalah akal, kesa-daran, dan pandangan yang bijak. Anaxagoras
ini dianggap sebagai orang pertama yang membuka pintu filsafat spiritualisme
dan datang dengan pemikiran yang masih membara disekitar kebenaran.
12. Socretes; merupakan
orang berjasa yang meletakkan dasar dan membangun filsafat pengetahuan
(epistemologi). Socretes berusaha mengembalikan dasar-dasar pengetahuan kepada
rasio, yang kepu-tusan-keputusannya disepakati oleh semua orang tanpa ada
perselisihan. Kemudian, tidak lah rasional apabila pengetahuan bisa diperoleh
hanya dengan indera, karena indera berbeda-beda ber-dasarkan perbedaan
individu, suasana dan keadaan. Oleh karena itu harus ada sumber dasar yang
pasti untuk pengetahuan yang tidak diperselisihkan untuk selama-lamanya. Pengetahuan itu ialah
pengetahuan yang universal dan rasional. Sehingga dapat dibuat suatu
standarisasi yang benar dan permanen tentang kebenaran, dan juga
mengetahui apa yang dimaksud dengan keutamaan.
13. Plato; berpendapat
bahwa makna yang universal bukanlah sesuatu yang bisa dicapai oleh indera,
melainkan oleh akal semata. Dan bukanlah indera yang mengetahui keterkaitan,
melainkan rasiolah yang mempertemukan dan memperbandingkan perkara-perkara
sehingga ia dapat mengetahui. Namun, dalam hal ini rasio mesti mempunyai ide
yang asli dan orasional tentang suatu perkara. Ide yang dimaksud oleh Plato
adalah sesuatu yang universal yang mempunyai wujud hakiki dibalik akal pikiran
manusia. Kemudian, plato juga mengatakan bahwa jiwa-jiwa manusia sebelum
menitis kedalam jasad, telah hidup di dunia ide. Ketika jiwa telah menyatu
kedalam jasad, ia agak melupakan dunia ide. Ilmu ialah upaya untuk
mengingat-ingat ide, sedangkan kebodohan ialah keadaan lupa terhadap ide.
Sementara pengalaman didalam kehidupan dunia, tidak lain merupakan wasilah
untuk membangunkan dan mengigatkan akal terhadap apa yang diketahui sebelumnya
didunia ide.
Plato mengatakan bahwa ide tersebut
bukanlah materi, melainkan pengertian yang abstrak. Unsur-unsur dan
keberadaannya berasal dari dirinya sendiri, bukan dari hal yang diluarnya.
Dunia ide menjadi dasar segala sesuatu. Ia tidak bersandar pada suatu perkara
yang lain, tetapi yang lain itu bersandar padanya. Ide bersifat langgeng,
permanen, abadi, diam, sempurna dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Plato termasuk salah seorang filosof
pertama yang berbicara tentang eksistensi Tuhan. Ia berpendapat bahwa alam ini
merupakan suatu tanda keindahan dan keteraturan. Selamanya, alam ini tidak
mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan ia adalah ciptaan zat yang berakal,
mahasempur-na, pemilik kebaikan, dan pengatur segala sesuatu berdasarkan suatu
maksud dan hikmah tertentu.
Akan tetapi, ketika menggambarkan
bagaimana Tuhan membuat alam ini, akal plato terben-tur dan tidak sanggup
membayangkan bagaimana makhluk tercipta dari ketiadaannya. Oleh Karena itu Ia
mengatakan bahwa semua makhluk tersusun dari materi dan bentuk. Bentuk inilah
yang mem-buat materi menjadi bentuk tertentu. Bentuk ini pula yang merupakan
akibat dari adanya ide-ide yang memberi corak dan bentuk tertentu pada sesuatu.
Zat yang memberi corak yang sesuai dengan idenya sehingga materi itu menemukan
bentuknya setelah sebelumnya tidak ada, maka itulah Tuhan.
14. Aristoteles; merupakan
seorang filosof yang terbesar dan pencipta ilmu logika dan mendapat gelar
sebagai Guru Pertama. Namun pada akhirnya ia juga tergelincir ketika hendak
memasuki rahasia penciptaan. Aristoteles berpendapat bahwa langkah yang harus dilalui
oleh pikiran untuk menuju jalan pengetahuan ialah dengan kesadaran inderawi, perbandingan,
perenungan dan pemberian alasan, analogi, pengambilan kesimpulan, hingga
pemberian keputusan. Kemudian, Aristoteles men-gatakan bahwa materi itu qadim, materi
itu mustahil tetapi merupakan sesuatu yang tertentu. Materi tidak lain hanyalah
gambaran dari kemampuan menerima atau gambaran dari ketiadaan. karena materi
tidak mempunyai sifat, selain sifat yang diambil dari bentuk. Dan materi itu
tidak lain adalah sesuatu yang berpotensi.
Aristoteles mengatakan alam itu qadim
karena keyakinannya akan qadimnya gerak. Dan se-bab pertama adanya gerak adalah
Tuhan Yang Permanen, yang mempunyai kekuasaan sejak zaman azali.
15. Epicurus; merupakan
tokoh aliran epicurisme yang mengatakan bahwa kita sesungguhnya bisa tertimpa
kesalahan manakala kita melampaui batas yang dibawa oleh pancaindra. Kemudian
Epicurus mengambil pendapat Demokritus. Dimana menurutnya sebab dari gerak
terletak di dalam atom-atom itu sendiri, yaitu beratnya. Karena berat ini
atom-atom itu bergerak ke bawah, tetapi agak mirip sedikit, dan jatuh. Sehingga
atom-atom itu bertemu dan membentuk susunan-susunan. Dan kehidupan ini semuanya
timbul dari pementukan susunan-susunan
ini secara kebetulan.
16. Aliran Neo-platonisme oleh Philo (20
SM–54 M) dari Iskandariah yang diperbaharui oleh Plotinus (207-240 M); akal
dan wahyu, yang merupakan intergrasi antara filsafat plato dengan Agama
Nasrani. Dan inti sari filsafatnya ialah sebagai berikut: Alam ini banyak
gejalanya dan selalu berubah. Pencipta alam ini adalah Tuhan. Dia melampaui
benda dan ruh. Karena tidak ada persamaan sama sekali antara Dia dengan segala
sesuatu, berarti Dia tidak mungkin diberi sifat kecuali dengan sifat-sifat
negative. Dia bukan meteri, tidak terhingga, sempurna dan tidak memerlukan
segala sesuatu. Dan hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal.
Meskipun filsafat berjalan kearah kebenaran dengan
langkah yang lambat. Kadang-kadang ia dirintangi oleh kaum Skeptis seperti
orang Sofis. Kata sofis/sofisme; suatu metode yang ditempuh untuk
memutarbalikkan kebenaran oleh mereka yang pandai mengajari manusia melalui
perdebatan bohong. Kaum sofis muncul sebagai suatu kelompok pendidik di Yunani
di dalam suatu kondisi sosial yang tengah dilanda gelombang keragu-raguan
(skeptisme), keingkaran terhadap dewa-dewa lama (mitologi), serta gelombang
demokrasi.
Orang sofis yang sangat terkenal adalah Protagoras
dengan perkataannya, “manusia adalah para meter segala sesuatu” (Man is the
measure of all things). Dan juga Georgias yang menyatakan tentang mus-tahilnya
manusia mencapai pengetahuan serta tukar menukar sains dan pikiran. Kemudian
ada lagi penganut skeptisisme baru yang inti sari pendapat mereka ialah sebagai
berikut:
Sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada, kita
hanya dapat mengetahui berbagai gejalanya saja. Yang tanpak pada kita dalam
bentuk yang berbeda-beda. Kita tidak mempunyai alat untuk membedakan antara
pikiran yang benar dan pikiran yang salah. Pancaindera kadang menyesatkan,
demikian juga dengan persepsi-persepsi indera. Ia berbeda-beda menurut
perbedaan suasana, korteks, dan keadaan orang yang mengetahui, serta perbedaan
objek yang diketahui. Selanjutnya ada lagi, yaitu pendapat para penganut
skeptisisme mederat yang disebut dengan “kaum serba mungkin” (kaum probabilis).
BAGIAN
KETIGA
B. FILOFOF MUSLIM
Semua filosof muslim telah menggabungkan keimanan
terhadap wahyu yang benar dengan keya-kinan terhadap akal yang lurus, dan
mereka menggabungkan cahaya dengan cahaya. Akan tetapi, mereka telah dicengkram
oleh kebohongan-kebohongan dan khayalan-khayalan neo-platonisme tentang proses
penciptaan dan perantara-perantaranya. Dan penghargaan mereka terhadap Guru
Pertama, tanpa didasari oleh sikap kritis.
1. Ar-Razi; mengatakan
eksistensi akal pada sebagian makhluk hidup dan kesanggupannya untuk meneliti
pekerjaannya menunjukkan adanya pencipta yang menciptakan sesuatu dengan
sebaik-baiknya.
2. Al-Farabi; mengatakan
bahwa ilmu terbagi ke dalam konsep mutlak dan konsep yang disertai dengan
pembenaran. Pembuktian Al-Farabi tentang eksistensi Allah ialah eksistensi
secara relative dan eksistensi secara absolute. Kemudian, al-Farabi juga
mengatakan, karena Allah adalah eksistensi yang Mahasempurna, maka pengetahuan
kita tentang Dia mesti merupakan pengetahuan yang paling sempurna pula.
3. Ibn Sina; mengatakan
bahwa persepsi makhluk-makhluk hewani ada kalanya bersifat lahiriah dan
batiniah. Persepsi lahiriah terjadi karena adanya indera yang lima. Dan
dibelakang perasaan lahiriah-nya terdapat jaringan dan urutan untuk menerima
gambaran yang dilaporkan oleh alat indera, yaitu kekuatan fantasi , kekuatan
imajinasi, kekuatan memori, dan kekuatan berfikir. Kemudia, Ibn Sina juga
mengatakan indera tidak bisa mencapai pengertian murni dan bentuk, kecuali pada
benda serta pada hal-hal yang berhubungan dengan benda seperti kuantitas,
kualitas, tempat, dan keadaan. Ruh manusia lah yang dapat menggambarkan
pengertian beserta batas dan hakikatnya, yang dibersihkan dari atribut-atribut
asing, serta yang diambil dari tempat umum yang disebabkan oleh rasio abstrak.
Untuk mencari eksistensi Allah, kita tidak mesti mencari pembuktian melalui
salah satu makhluk-Nya. Akan tetapi, kita seharusnya dapat menarik kesimpulan
dari setiap kemungkinan. Menurut Ibn Sina, kata al-qidam dapat didefinisikan
dengan qadim analogis dan qadim mutlak.
4. Ibn Miskawayh;
berpendapat tentang etika, epistemologi, dan ontologi. Menurutnya, indera hanya
mampu mengetahui objek-objek inderawi semata. Sedangkan jiwa bisa mengetahui
sebab-sebab adanya persesuaian dan perbedaan yang terdapat pada objek-objek
inderawi. Kemudian, Ia memilah-milah pandangan tentang pengetahuan inderawi dan
pengetahuan akal secara teliti, sangat menarik dan relevan. Secara ontologi,
Miskawayh mengakui bahwa alam ini adalah makhluk. Dan Allah lah yang
menciptakannya dari ketiadaan.
5. Ibn Thufayl; memperkuat
pendapat Ibn Miskawayh didalam kisah tentang iman dan akal. Dan Ia berhasil
melukiskan pertemuan antara pentelidikan akal murni dan dan wahyu didalam
kisahnya Hayy Ibn Yaqzhan. Didalam kisahnya ini hendak dijelaskan
beberapa kebenaran, yaitu:
- Sejumlah tahapan yang ditempuh oleh akal
pada tangga pengetahuan adalah dimulai dari objek inderawi yang particular
menuju pemikiran yang universal.
- Tanpa pengajaran dan petunjuk apapun,
akal manusia dapat mengetahui eksistensi Allah melalui tanda-Nya yang ada pada
semua makhluk-Nya. Dan menegakkan dalil yang benar atas eksistensi-Nya.
- Akal terkadang mengalami ketumpulan dan
ketidakmampuan di dalam mengemukakan dalil-dalil.
- Akal sebetulnya senantiasa menyakini
akan satu hal, yaitu eksistensi Allah.
- Dengan akal manusia dapat mengetahui
prinsip-prinsip moralitas, etika, sosial, serta penghiasan diri.
- Segala sesuatu dipersatukan oleh akal
tanpa adanya perselisihan.
6. Ibnu Khaldun; Ibnu
khaldun adalah seorang ilmuan besar yang penelitiannya luas dan pemikiran-nya
cemerlang. Ia menerbitkan karyanya yang monumental dibidang sejarah, yaitu Muqadimah.
Para ilmuan barat menyebut ibnu khaldun sebagai peletak dasar filsafat
kebudayaan.
Menurut pendapat ibnu khaldun,
pengetahuan asalnya hanyalah objek-objek yang terindera. Dan Ia mengatakan
bahwa konsep-konsep akal, meskipun dikembalikan pada sejumlah sebelumnya, namun
tidak semua konsep yang masuk kedalam jiwa itu dapat diketahui sebabnya. Karena
tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui prinsip-prinsip didalam soal-soal
kejiwaan dan urut-urutannya. Dan jangan percaya terhadap anggapan-anggapan akal
bahwa ia mampu mengetahui semua keadaan disekitar alam semesta, sebab-sebabnya,
serta mengetahui perincian eksistensi keseluruhan. karena semua eksistensi bagi
setiap orang yang mengetahuinya, terbatas pada apa-apa yang diketahuinya itu.
Namun kebenaran tetap berada dibelakangnya.
Keadaaan demikian tidak berarti menodai
nilai-nilai akal dan pengetahuan, karena akal adalah timbangan yang benar,
keputusannya pun bisa memberikan keyakinan dan tidak mengandung unsur
kedustaan. Akan tetapi, akal tidak sanggup mengukur soal-soal ketauhidan dan
semua hal yang mustahil tewujud.
Pendapat ibnu khaldun tentang
eksistensi: sesungguhnya semua hal yang baru didunia ini, baik berupa benda
atau perbuatan, mesti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Masing-masing dari
sebab ini pun adalah sesuatu yang baru, yang mesti ada sebab-sebab lain bagi
keberadaannya. Demi-kianlah sebab-sebab tersebut menuju ‘sebab dari segala
sebab’. Dialah yang menciptakan segala sebab itu, yaitu Allah yang MahaSuci,
yang tiada Tuhan selain-Nya.
BAGIAN
KE EMPAT
Oleh Hayy ibn Yaqzhan dan bersama Absal dan Salman menyatakan
bahwa seluruh hikmah, hida-yah, dan taufik terdapat pada apa yang diucapkan oleh
para rasul dan apa yang tercantum didalam syariat. Setiap perkara ada ahlinya,
dan setiap orang adalah mudah memperoleh apa yang disediakan baginya.
Pada akhirnya mereka beriman kepada perkara-perkara
mutasyabihat, dan menerima semua ayat-ayatnya. Menjauhi pendalaman sesuatu yang
tidak memberi manfaat, meninggalkan bid’ah dan hawa nafsu, serta mengikuti
ulama-ulama salaf yang salih. Hayy ibn Yaqzhan mengatakan bahwa apabila semakin
tinggi menuju puncak pemikiran, maka urusan agama akan membingungkan mereka
sendiri. Mereka akan bim-bang, terpelanting, dan menderita akibat buruk. Akan
tetapi, apabila mereka tetap berpegang pada perkara agama sebagaimana yang
telah mereka lakukan, mereka akan berbahagia.
BAGIAN
KELIMA
7. Al-Qhazali; mengatakan
bahwa sikap menolak sebuah mazhab sebelum memahami dan menelaah hakikatnya
berarti bersikap menolak didalam kebutaan. Al-Qhazali menelaah berbagai
pendapat para filosof ketuhanan, sebelum membantah mereka. Didalam bukunya yang
berjudul Maqashid al-falasifah (orientasi para filosof) dan
Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof). Kemudian, al-qhazali
berkesimpulan bahwa tidak ada satupun yang dapat mengantarkan kepada derajat
yang dapat meyakinkan selain semua hal yang dapat ditangkap oleh indera dan
akal. Namun ia sadar bahwa indera itu terkadang menipu dan dusta. Dan yang
menipu tersebut adalah akal.
Sangat mustahil jika dikatakan bahwa
sebelum masa itu tidak ada suatu tujuan, karena alat untuk menciptakan belum
ada. Dan mustahil juga bila dikatakan bahwa Allah sudah memiliki kehen-dak
untuk menciptakan alam sedang Ia belum memiliki kehendak sebelumnya. Sebab,
terjadinya hal yang demikian itu mustahil adanya pada Zat Tuhan.
8. Ibn Rusyd;
bersepakat dengan al-Ghazali didalam semua pemikiran tentang wujud, makhluk dan
khaliq. Akan tetapi, ia juga menentang berbagai pendapat al-Ghazali sebagaimana
yang terdapat didalam bukunya yang sangat popular, yaitu Tahafut At-Tahafut
(kekacauan dalam kitab Tahafut).
Sesungguhnya ibn Rusdy adalah seorang
ulama besar, seorang filosof dan salah seorang pemikir muslim yang lurus. Ibn
Rusdy sangat menyukai filsafat Aristoteles. Dan ia pernah memberi komentar
tentang filsafat Aristoteles tersebut.
Komentar yang pertama bersifat ringkas
dan hanya berisi komentarnya sendiri. Dan komentar yang kedua bersifat menengah
pada masing-masing permulaan yang disertakan beberapa paragraf dari kata-kata
Aristoteles dan juga lengkap dengan pendapatnya sendiri. Komentar yang ketiga
bersifat panjang, lengkap dan memadai. Akan tetapi, keterangan yang sebenarnya
ialah ibn Rusdy hanya berupaya menafsirkan kata-kata Aristoteles semata.
Kemudian, ibn Rusyd mengakui ketidakqadiman
alam sebagai yang dijadikan oleh Allah, baik materinya yang asli maupun
bentuknya yang sekarang. Namun demikian, ia berusaha untuk membuat jarak, baik
dengan pemikiran para teolog muslim maupun dengan pendapat Aristoteles. Dan
pemikiran ibn Rusyd juga terbentur pada kesulitan menggambarkan arti creation
ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) dan arti “wahyu”. Pada akhirnya, ia
kembali merujuk kepada Alquran. Sehingga di dalam bukunya yang berjudul Fashl
al-Maqal mengatakan “Sesungguhnya firman Allah: Dia lah yang
menciptakan langit dan bumi di dalam enam masa, dan adalah Arsy-Nya diatas air (QS
11:7), secara eksplisit menyatakan adanya suatu wujud sebelum adanya alam ini,
yakni Arsy dan air, serta adanya suatu waktu sebelum waktu yang ada sekarang.
Firman Allah yang berbunyi: Kemudian, Dia menuju langit, sedangkan langit
itu masih merupakan asap. (QS 41: 11), secara eksplisit menunjukkan bahwa
langit-langit itu terbuat dari sesuatu.
Ibn Rusyd kembali berkata: mereka yang
berpolemik di dalam perkara-perkara yang rumit mesti lah diperlakukan sama,
baik sebagai orang-orang yang mencapai kebenaran dan memperoleh pahala, ataupun
sebagai orang-orang yang jatuh di dalam kekeliruan namu ia dapat dimaafkan.
Sebab pada dasarnya, mereka membenarkan sesuatu melalui dalil yang tertaman di
dalam jiwa sebagai sesuatu yang bersifat otomatis dan bukan bersifat pilihan
lagi. Kita tidak bisa menafikan atau membenarkan adanya sesuatu. Seandainya
pilihan menjadi syarat pertanggungjawaban, berarti seorang pencari kebenaran
yang jatuh kedalam kekeliruan bisa dimaafkan apabila ia termasuk ahli ilmu. Perdebatan
ibn Rusdy hanya untuk menunjukkan kepandaiannya saja dan membela para filosof.
Ibn Rusyd mengingkari eksistensi
kepribadian individu seorang manusia. Dimana kepri-badian tersebut akan hancur
bersamaan dengan hancurnya jasad. Namun, ia menyakini dan membenarkan adanya
hari kebangkitan, serta mencap “zindiq” bagi mereka yang mengingkarinya.
Sesungguhnya kehidupan yang lain terjadi dengan terciptanya jasad yang
baru.
9. Thomas Aquinas; membatasi
pengertian kepribadian sebagai campuran yang terdiri dari badan dan jiwa. Ia
menganggap badan dan jiwa itu identik dengan hakikat yang tunggal dan
dipersatukan. Dan jiwa itu juga identik dengan esensi yang tidak bermateri.
Jiwa adalah ruh yang dibangkitkan oleh Tuhan di dalam diri kita. Jiwa hanya lah
bayangan yang tidak memiliki potensi dan tidak dapat melakukan pekerjaan tanpa
adanya jasad. Ia tidak membentuk kepribadian tersendiri yang kekal kecuali ia
telah kembali untuk menyatukan diri dengan jasad. Kemudian, potensi ruhani
tetap abadi meski jasad telah hancur.
Pendapat Thomas Aquinas tentang wujud
Allah dan penciptaan-Nya terhadap alam: Akal kita memperoleh pengetahuannya
dari indera. Namun, akal yang dijadikan Allah didala diri kita merupa-kan
potensi pengatur yang dapat mengatur kegiatan-kegiatan indera serta mengubahnya
menjadi pikiran-pikiran yang universal dan abstrak. Akan tetapi, pengetahuan
akal yang spontan itu terbatas pada alam indera, dan tidak termasuk kedalam
kesanggupannya untuk dapat mengetahui secara langsung alam non-inderawi dan
alam metafisik. Meskipun demikian, ia memiliki kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan tidak langsung melalui metode perbandingan dan analogi.
Tentang ketidakqadiman alam Thomas
Aquinas mengatakan, Adanya Tuhan dapat dibuktikan dengan sebab-sebab alamiah,
antara lain bahwa semua gerakan yang ada timbul dari berbagai gerakan
sebelumnya. Dan tentang dalil Eksistensi Mutlak, ia mengatakan “apa yang ada di
alam adalah termasuk bagian yang berwujud relatif. Ia bisa terjadi, tetapi
tidak harus terjadi. Relatif ini harus bersandar pada esensial mutlak, yaitu
Zat yang mesti ada (wajib al-wujud), yakni Tuhan.
Pada akhirnya, Thomas Aquinas setuju
dengan al-Ghazali. Sehingga ia mengatakan pem-bahasan tentang persoalan penciptaan hampir tidak ada
artinya, karena waktu (zaman) belum lagi ada sebelum adanya alam. Waktu tidak
mungkin digambarkan tanpa adanya gerakan dan perubahan”. Bahkan Aquinas
mengikuti jejak al-Qhazali yang mengatakan: Walaupun proses penciptaan alam
terjadi pada zaman azali, namun ia mengandung iradah. Dan dari iradah
inilah ditentukan waktu yang dikehendaki oleh Tuhan untuk menciptakan alam.
Semua akal yang sehat, ditinjau dari segi medan akal yang
bersih dari campuran-campuran hawa nafsu, sepakat mengakui adanya Tuhan dan
menetapkan dengan tegas bahwa Tuhan itu Mahaesa, tidak berbilang, dan tidak
berubah-ubah. Semua akal pun menyepakati berbagai metode pembuktian yang
didasar-kan atas kebenaran dan tidak mengandung keraguan sedikit pun
didalamnya. (Menurut Syaikh al-Mauzun, hal: 152).
BERSAMBUNG…??
Banda Aceh, 11 Juni 2012