Senin, 27 Januari 2014

Filsafat Bahasa

  
Makalah
PERMAINAN BAHASA MENURUT LUDWIG WITTGENSTEIN
Sebagai Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa

Disusun Oleh:
Kelompok II
                             Nazari Mahda           : 311102948
                             Lukman                     : 311102959
                             Melisa Meina           : 311102954
                             Agustiana                  : 311102930




JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT 
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2013

Bab II
Pembahasan
A.    Riwayat Hidup Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Karl Wittgenstein (Kristen Protestan) dan ibunya bernama Leopoldine Kalmus (Katolik). Pada tahun 1906, Wittgenstein belajar teknik di kota Berlin. Namun pada tahun 1908 ia melanjutkan belajar tehnik di kota Manchester. Selanjutnya, Wittgenstein juga memiliki ketertarikan untuk mempelajari ilmu matematika. Sehingga pada tahun 1911 ia bertemu dengan Gottlob Frege, yaitu seorang ilmuan Jerman yang ahli dalam bidang matematika. Pertemuan Wittgenstein dengan Frege ternyata memberi kesempatan kepadanya untuk belajar pada Bertrand Russel di Cambridge.[1]
Seiring dengan perkembangannya, Ludwig Wittgenstein juga dikenal sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran, sehingga pemikirannya sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Pada masa Wittgenstein I (Tractacus Logico-Philosophicus, 1922), Wittgenstein begitu ketat dalam memapar kan istilah bahasa logika, yaitu dengan mengidealisasikan kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas. Kemudian, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II (Philosphical Investigations, 1953), Wittgenstein seakan-akan membantah pemikirannya sendiri dengan menyata-kan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman makna, sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah tata permainan bahasa (language game).[2]

B.     Hakikat Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Permainan bahasa (language games) merupakan pemikiran kedua dari pemikiran Wittgenstein II. Berbeda dari periode pertama, pada periode kedua ini Wittgenstein telah mencetuskan teori tentang filsafat bahasa biasa (ordinary language) dan teori permainan bahasa (language games). Pada awalnya Wittgen-stein menganggap bahwa bahasa biasa tidak mencukupi untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran filosofis, namun pada perkembangan selanjutnya ia menyakini bahwa bahasa sehari-sehari sangatlah memadai untuk melakukan hal itu.
Jika kita mengkaji pemikiran Wittgenstein pada periode kedua tentang tata permainan bahasa (language games). Maka ia mengatakan bahwa hakikat permainan bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai macam konteks kehidupan manusia. Setiap konteks kehidupan manusia menggunakan satu bahasa tertentu yang memiliki aturan penggunaan tertentu yang berbeda dengan konteks penggunaan lainnya. Dalam hal ini juga Wittgenstein mengatakan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunaannya dalam bahasa, dan makna bahasa adalah penggunaannya dalam berbagai konteks kehidupan manusia.[3]
Dengan demikian, makna suatu kata sangatlah tergantung pada situasi, tempat dan waktu kata-kata tersebut digunakan dalam suatu kalimat. Menurut Wittgenstein, kekacauan dalam pemakaian bahasa disebabkan oleh ketidaktepatan (kekeliruan) penerapan aturan (tata permainan bahasa) dalam sebuah konteks tertentu. Hal ini dapat dianalogikan dengan berbagai bentuk permainan (game) yang memiliki aturan (rule) masing-masing. Kekacauan akan timbul ketika aturan pada sebuah permainan diterapkan pada permainan yang bukan seharusnya.[4]
Konteks inilah sebenarnya maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya. Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop atau berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”.[5]
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak Misalnya kata “aku”, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tetapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampuradukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.[6]
Kemudian akan berbeda lagi kasusnya jika sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu, maka tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks ekonomi, maka jelas maknanya. Tetapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, maka bisa memicu kesalahpahaman arti. Dalam pergaulan sehari-hari kata tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap dirumahnya”.[7]
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya dan tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.



[1] Kaelan, Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstain: Relevansi Bagi Pengembangan Prakmatik, dalam makalahnya Iman Santoso, Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), Hal. 6, Https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc. Apload: 16 November 2013, 22:00 Wib.
[2] Johanes B. K. Soro. Mengenal Ludwig Wittgenstein dan Pemikirannya. Http://my.opera. com/ Nyocor/blog/. Apload: 17 November 2013. 20:10 Wib.
[3] Kaelan. Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein,... Hal.133 – 146.
[4] Iman Santoso. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa: Dari G.E Moore Hingga J.L Austin. (Yogyakarta: Universitas Gadjahmada. 2013). Hal. 9. Https://www.google.com/url?sa=t&rct =j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad. Apload: 16 November 2013. 22:00 Wib.
[5] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise. blogspot.com/2012/11/. Apload: 16 November 2013. 20:45.
[6] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.
[7] Imanuel Harefa. Makalah Hakikat Bahasa Menurut Ludwig Wittgenstein. Http://gyncruise.

Filsafat Barat Modern

A.    Pendahuluan
Filsafat barat adalah sebutan yang digunakan untuk pemikiran-pemikiran yang ada di dunia barat. Pengkajian terhadap filsafat ini dimulai sejak abad pertengahan (6 M-12 M), fase-fase kebangkitan kembali (renaisance) pada abad 14 M – 16 M. Adapun ruang lingkup kajian filsafat barat dapat diabagi kedalam empat periode, yaitu: Periode pertama (zaman Yunani Kuno), yang pemikirannya bercirikan kosmo-sentris, yaitu mempertanyakan tentang kejadian alam semesta. Periode kedua (zaman pertengahan), yang pemikirannya bercirikan teosentris dan banyak dipengaruhi oleh dogma-dogma agama Kristiani. Periode ketiga (zaman moderen), yang pemikirannya bercirikan antroposentris, yaitu menjadikan manusia sebagai objek analisis filsafat. Periode keempat (zaman kontemporer), yang logosentris dan teks menjadi sebuag tema sentral diskursus para filosof. Namun, di dalam resume ini penulis akan lebih banyak membahas tentang perkembangan filsafat barat pada abad moderen dan kontemporer.
Sedangkan tujuan mempelajari filsafat barat adalah agar mampu mendeskripsikan ruang lingkup kajian dalam filsafat barat, mengetahui dan memahami epistimologi dari pemikiran para filsuf barat, melatih diri untuk berpikir secara kritis dalam proses pendidikan. Dan memiliki wawasan yang luas tentang tanggung jawab keilmu, terutama tentang filsafat yang ada di barat.

B.     Sejarah Singkat Filsafat Barat (Pertengahan-Modern)
1.      Zaman Renaissance
Sejarah filsafat modern barat adalah berawal dari pemikiran di zaman abad pertenga-han dan memuncak pada renaissance.[1] Ciri utama pemikiran pada zaman ini dilambangkan dengan “subjek” sebagai pusat pemikiran. Subjek yang dimaksud disini adalah manusia. Manusia dianggap sebagai pusat dari segala sesuatu (antroposentris).[2] Sedangkan alam pemikiran abad pertengahan yang didominasi otoritas gereja dan negera perlahan semakin ditinggalkan.
Pada zaman ini muncullah pemikiran rasionalisme Rene Descartes. Ia mencetuskan metode baru dalam pendekatan filsafat yaitu “kesangsian metodis”. Dalam hal ini Descartes meragukan segala sesuatu. Ia ragu pada pengalaman, kenyataan, dan pengetahuannya. Ketika ia ragu pada segala sesuatu maka ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu keberadaan akan dirinya yang sedang ragu. Descartes yang ragu adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Ia ragu, ia berpikir. Ia berpikir, maka ia ada. Adanya dia karena ia berpikir dan sangsi. Descartes menegaskannya dalam kalimat “Cogito, ergo sum”. Je pense, done je suis. Saya berpikir, maka saya ada.
Dalam konstruksi rasionalisme Descartes, akal budi atau rasio dapat mencapai kepastian akan kebenaran tanpa membutuhkan bantuan apapun. Untuk ini, ada tiga hal yang jelas dan tegas (clare et distincte) yaitu Allah, pemikiran (cogito) dan keluasan (extensio). Pemikiran merupakan bagian dari bidang psikologi. Keluasan adalah bidang dari ilmu alam. Dalam diri manusia, kedua hal itu menyatu. Konsep ini menyebabkan Descartes dipandang sebagai pemikir dualisme. Jiwa dan tubuh adalah dua hal yang terpisah dan hanya menyatu sebagai akibat kerja kelenjar kecil dibawah otak.
      2.      Zaman Barok
Setelah adanya pemikiran Descartes, pada zaman barok muncul pula pemikiran Baruch Spinoza, Gottfried Wilhelm Leibniz, dan Blaise Pasca. Kata kunci zaman Barok antara lain rasio, empiris, toleransi, dan kebebasan.
Baruch Spinoza memandang substansi alam dan Tuhan sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pengetahuan manusia adalah kontemplasi yang memberi persesuaian dengan keseluruhan, kebebasan dan kebahagiaan. Sementara bagi Leibniz, tidak ada substansi tunggal. Substansi bersifat banyak. Semua itu dinamai monade-monade. Monade-monade itu seperti jiwa. Ia dapat berpikir dan memiliki kesadaran. Monade-monade itu diatur dalam suatu harmonia praestabilita yang ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Adapun Blaise Pascal berada pada posisi anti rasionalisme. Menurutnya, hati memiliki alasan-alasan yang sama sekali tidak dapat diketahui akal. Hal ini dikarenakan keputusan-keputusan yang dibuat manusia itu lebih banyak penyang-kalan atas akal sehat daripada sebaliknya.
      3.      Zaman Fajar Budi
Zaman fajar budi ini lahir diujung zaman Barok. Para pemikir era fajar budi memandang bahwa alam pemikiran manusia kini telah dewasa. Manusia kini bertumpu pada rasio. Sebagaimana pemikiran yang telah dicetuskan oleh para filsuf Prancis, seperti Voltaire, D’Alembert, Diderot, dan Rousseau. Dan juga di Jerman, seperti Wolff, Lessing dan Immanuel Kant.
Sementara empirisme pada zaman ini juga berlaku, seperti halnya di Inggris yang telah memunculkan tokoh seperti Locke, Berkeley dan Hume. Pemikiran empirisme menjadi penanda paling menonjol di zaman fajar budi. Jika rasionalisme menekankan pentingnya rasio dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka empirisme meyakini bahwa pengetahuan hanya dicapai oleh hasil kerja panca indera. Akibat dari terbatasnya panca indera manusia, maka pengetahuan juga tidak dapat mencapai kepenuhannya.
Francis Bacon (1561-1626) dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Lock men-jadikan paham empirisme begitu mendominasi periode ini. Isi otak saya, kata Lock terdiri dari ide-ide. Ada ide-ide tunggal (simple idea) dan ada ide-ide jamak (complex idea). Ide yang peertama berhubungan langsung dengan pengalaman inderawi. Ide yang kedua merupakan hubungan dari ide-ide yang pertama. Misalnya sebab, akibat, relasi, syarat dan sebagainya hanya dapat diamati melalui kombinasi ide-ide tunggal.
Empirisme memuncak pada David Hume (1711-1776)/ Hume mengikuti pemikiran Locke dan Berkeley sampai batas dimana empirisme menjadi agak mustahil. Bagi Hume, pendapat Berkeley tentang subjek yang sedang mengamati dihapuskan oleh Hume. Bagi Hume, aku sebagai pusat pengalaman, kesadaran dan pikiran hanyalah kesan (impression) semata-mata. Kesan merupakan bahan darimana pengetahuan tersusun. Karena itu, kesadaran manusia bukanlah suatu jiwa. Kesadaran hanyalah deretan terus-menerus dari kesan-kesan.
Pemikiran Hume ini menggelisahkan Immanuel Kant (1724- 1804). Bagi Kant empirisme benar. Namun rasionalisme tidak dapat serta merta di buang. Karenanya, Kant berupa membuat sintesa atas perang dua aliran filsafat ini. Kant menunjukkan bahwa pegetahuan adalah hasil perpaduan antara pengalaman inderawi dan kemampuan pikiran. Ia membagi tiga tingkatan pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan yang berasal dari pengalaman yang disebutnya Sinneswahrnehmung. Kedua, pengetahuan yang berasal dari akal budi yang disebutnya verstand. Ketiga, pengetahuan yang berasal dari intelektual atau rasio yang disebutnya vernunft.
Pengalaman inderawi adalah unsur a-posteriori yaitu segala sesuatu yang ada kemudian. Sementara akal budi merupakan unsur a-priori yang datang sebelum adanya pengalaman inderawi. Pada akhirnya, pengetahuan adalah sintesa antara kedua unsur ini. Bagi Immanuel Kant, pengetahuan tidaklah berasal dari metafisika. Pengetahuan harus digali dari bawah, untuk menciptakan ruang bagi iman. Dalam cara berpikir Kant, manusia bukanlah pengamat atas objek-objek yang diam, melainkan objek-objek yang harus dibawa kehadapan manusia untuk diamati. Gaya berpikir semacam ini disebut revolusi Copernican kearah subjek.
Dalam hubungannya dengan pemaknaan pengetahuan, Kant menyebutkan beberapa macam kaidah tindakan manusia, yaitu kaidah yang bersifat subjektif (maksim-maksim), kaidah yang berlaku secara umum objektif (undang-undang), syarat untuk mencapai sesuatu yang bersifat umum (imperatif hipotetis dan imperatif kategoris). Tujuan etika bagi Kant adalah kebaikan, dan kebaikan menghasilkan kebahagiaan sempurna.
      4.      Zaman Romantik
Periode Kant menutup zaman filsafat fajar budi. Selanjutnya, filsafat memasuki zaman romantik dimana para filsuf Jerman seperti Johann Gottlieb Fitche (1762-1814) dan Friedrich Wilhem Joseph von Schelling mengembangkan filsafatnya dari pemikiran Kant.
Bagi Fitche, idealisme Kant tidak cukup konsekuen. Menurutnya, bidang dimana benda ada pada dirinya sendiri, sama sekali tidak ada. Pada tahap pertama, ada pikiran yang disebut Fitche sebagai tesis. Pikiran tidak dapat memikirkan dirinya sendiri. Maka dengan demikian dibutuhkan objek di luar aku. Objek yang bukan aku ini disebut anti tesis. Jadi subjek yang berpikir dan objek dari pikiran adalah tesis dan anti tesis. Bertautnya subjek dan objek merupakan proses sintesis.
Selanjutnya, pemikiran idealisme Jerman ini memuncak pada George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Pendapat Kant bahwa manusia hanya bias mengenal gejala-gejala diatasi Hegel dengan konsep pemberian struktur oleh kategori-kategori dari akal. Jadi dalam filsafat Hegel, tidak ada yang tidak bisa dikenal. Seluruh system filsafat Hegel terdiri dari “triade-triade” yaitu rangkaian dialektis tiga tahap yaitu tesis, anti tesis dan sistesis. Disini Hegel menggunakan terminologi Fitche. Hegel yang kemudian menyusun suatu sistem filsafat yang terdiri atas ilmu logika, filsafat alam dan filsafat roh. Di dalam ketiga cabang filsafat ini, hampir semua penyelidikan filsaft dirangkum. Bagian paling menggetarkan dari filsafat Hegel terletak pada tesisnya bahwa seluruh kenyataan adalah suatu kejadian besar. Kejadian itu adalah kejadian roh. Roh ini adalah Allah. Bukan Allah sebagai persona, Allah yang sama sekali lain (transendensi), melainkan Allah yang imanen. Sistem Allah Hegel hampir mirip dengan Allah Spinoza yang panteistis.
      5.      Zaman Moderen (Abad 19 M – Abad 20 M)
Setelah filsafat Hegel, dunia memasuki zaman modern. Ada bermacam pemikiran filsafat setelahnya, namun yang paling mudah diidentifikasi adalah terpisahnya filsafat menurut teritori negara. Paling tidak ada tiga wilayah, yaitu filsafat Jerman, filsafat Perancis. dan filsafat Anglo-Saxon. Filsafat Jerman melanjutkan sistem filsafat Kant dan Hegel. Sementara filsafat di negeri yang berbahasa Inggris (Anglo-Saxon) mengikuti pemikiran empirisme Hume. Filsafat Perancis hampir selalu menampakkan ciri positivisme Auguste Comte. Namun beberapa filsuf Prancis di era modern seperti Sartre (1905-1980) tampil sebagai filsuf eksistensialisme yang melanjutkan pekerjaan para filsuf di negeri berbahasa Jerman seperti Soren Kierkegaard (1838-1855) dan Friedrich Nietszche (1844-1900).[3]





[1] Renaissance, kata Perancis berarti ‘kelahiran kembali’ atau ‘kebangkitan kembali’. Renaissance menunjukkan suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Zaman renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi dan kedaulatan manusia dalam berpikir, dalam mengadakan eksplorasi, eksprimen, dalam mengembangkan seni, sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. (Menurut Lorens Bagus. 1996. Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia, hlm. 953-954. Dalam karya tulisnya Firdaus M. Yunus: httpe-dokumen.kemenag.go.idfilesTrL4kHFM1339045469.pdf)
[2] Harry Hamersma. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Cetakan Kelima. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 3.

Minggu, 05 Januari 2014

MAKNA BERFIKIR FILOSOFIS

Di Asrama Haji, 07 April 2012 
Beberapa sumber buku menjelaskan bahwa berfikir filosofis adalah berfikir secara mendalam terhadap segala sesuatu. Namun sedalam manakah persoalan segala sesuatu yang dapat di jawab oleh filsafat? Berfikir mendalam terhadap segala sesuatu. Menurut saya ini adalah kalimat yang kurang tepat. Akibatnya tidak sedikit orang beranggapan bahwa berfikir filsafat menjadikan orang sesat, sehingga banyak dari mereka yang takut belajar filsafat. Nah, sebenarnya apa sih maksud berfikir mendalam terhadap segala sesuatu? Berikut penjelasannya:
Pertama sekali perlu disadari bahwa kita adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Mengapa Yang Maha Pencipta membatasi ilmu-Nya kepada segenap makhluk-Nya? jawaban sederhananya ialah agar ada beda antara diri-Nya dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan diri-Nya. Hal ini memberikan makna kepada manusia bahwa sehebat apapun ia, tetap saja ada yang lebih hebat darinya, yaitu penciptanya. Selanjutnya perlu kita sadari pula bahwa meskipun ilmu kita terbatas, namun tidaklah dianjurkan kepada kita untuk tidak berusaha, tidak mau belajar ataupun bermalas diri. Artinya segala potensi yang kita miliki mesti dapat berfungsi dengan sebaik mungkin berdasar petunjuk-Nya. 
Biasanya segala sesuatu yang ada dipelajari secara bertahap. Dalam hal ini, tahapan tersebut terbagi kedalam tiga tingkatan, yaitu ilmu sains, ilmu filsafat, dan ilmu mistik. Sains adalah ilmu yang mengkaji tentang sesuatu sebatas empiris (nyata), sedangkan Filsafat ialah ilmu yang mengkaji tentang sesuatu yang sebatas logis. Jika tidak logis (artinya akal tidak sanggup menjawab) maka disinilah berlakunya mistik, yaitu ilmu yang mengkaji tentang sesuatu yang tidak nyata dan tidak sanggup dipikirkan oleh akal. Sabjek yang berperan dalam mistik adalah hati yang dipraktekkan melalui ilmu tasawuf.
Berdasarkan tahapan-tahapan ini, maka dapat saya tegaskan bahwa pengertian mempelajari segala sesuatu adalah proses pembelajaran yang memiliki tahapan-tahapan tertentu bersadarkan batas potensi yang dimiliki oleh manusia. Kalimat mempelajari segala sesuatu tersebut mesti dipahami sebagai sesuatu yang memiliki keterbatasan. Meskipun banyak juga kalimat lain yang menjelaskan tentang pengertian filsafat, namun perlu digaris bawahi bahwa filsafat itu adalah ilmu manusia yang memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, wahai teman-teman semua mari kita belajar. Mari kita fungsikan segenap kemampuan yang ada. Jangan kita takut belajar filsafat karena dalam filsafat itu juga berlaku belajar secara sistematis, dan sebatas yang sanggup dipikirkan akal.

Demikianlah dari saya, lebih dan kurang saya mohon maaf. Adapun saran dan kritikan dari para pembaca sangat saya harapkan. Terimakasih.
Salah satu rujukan yang menjelaskan tentang pengertian-pengertian filsafat ialah sebagai berikut:
1.   Dedi Supriadi. 2010. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, Filsuf, dan Ajarannya. Cet. II. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 15-22.
2.   Sirajuddin Zar. 2010. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Cet. Ke IV. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 1-8.

[Telah tersunting di Rumah Kos, Desa Rukoh Kec. Syiah Kuala. Kota Banda Aceh, pada 05 Januari 2014]

Sabtu, 04 Januari 2014

Filsafat Ilmu dan Filsafat Umum

Oleh: Zenal Ardani, 7 April 2012 pukul 21:53.
A.  Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
  • Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
  • Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
  • Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
  • Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
  • Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
       Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

B. Substansi Filsafat Ilmu

Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.

Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
  • Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
  • Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
  • Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
  • Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
C. Filsafat Umum.
       Filsafat Umum  merupakan telaah kefilsafatan yang membahas tentang sesuatu secara mendalam berdasarkan pada kekuatan pikiran belaka atau logika rasional. Pengertian filsafat yang dirumuskan oleh para filsuf pada dasarnya mengacu pada penggunaan akal dalam menemukan jawaban atas suatu permasalahan. Hal ini merupakan wujud penyempitan makna filsafat, dimana filsafat ditekankan pada latihan berpikir secara mendalam untuk memenuhi kesenangan akal.

D. Fungsi Filsafat Umum
1.  Agar terlatih berpikir serius.
2.  Agar mampu memahami filsafat.
3.  Agar mampu jadi filosof.
4.  Agar mampu jadi warga Negara yang baik.

E.  Substansi Filsafat Umum
1.  Menyelidiki bagian materia yang abstraknya bukan yg empiris.
2.  Menyelidiki sesuatu yang lebih luas dari objek materia sains seperti : Tuhan & hari akhir.

[1] http://hima89.weebly.com/1/post/2010/02/-perbedaan-filsafat-umum-dan-filsafat-ilmu.html

FILSAFAT UMUM

Sumber: Karya Syaikh Nadim Al-jisr            
Judul: Mengembara Mencari Tuhan: Sebuah Novel Religius Petualangan Intelektual Dalam Menemukan Kebenaran
Penerjemah: H.M. Mochtar zoerni. Penyunting: Abdullah Hasan. Sebagai Cetakan Pertama, Juni 2005. Dan Diterbitkan di Bandung, oleh Q-Press Pustaka Hidayah.
…………………………………………………………………………………………………………
Hayran bin al-Adh’af al-Ma’i al-Punjabi dari Universitas Peshawar (Pakistan) bersama dengan Syeikh Abu an-Nur al-Mawzun as-Samarkandi Khartank berkisah:
BAGIAN PERTAMA
Filsafat merupakan jalan keimanan kepada Allah melalui metode akal yang menjadi dasar bangunan keimanan. Dan Filsafat itu samudera, bukan sembarang samudera. Orang-orang yang mengarunginya seba-tas tepian dan pantai-pantainya, akan menemui bahaya dan kesesatan. Namun, mereka akan memperoleh keamanan dan keimanan apabila sampai ditengah-tengahnya atau bagian-bagiannya yang dalam.
Pendalaman filsafat merupakan kewajiban pokok bagi setiap orang agar mereka mampu mengemban apa yang dituntut oleh masyarakat, yakni membimbing kepada kebenaran dan mengajak manusia kepada Allah.
BAGIAN KEDUA
Filsafat itu ingin megetahui hakikat segala sesuatu, termasuk asal dan tujuannya. Ia tidak merasa cukup dengan hal yang tampak. Ia ingin menembus semua yang tersembunyi. Ia pun tidak merasa cukup dengan alam yang terindera. Ia ingin mengetahui apa yang ada dibalik itu dan yang terjadi sebelumnya. Menurut Syeikh Abu an-Nur al-Mawzun filsafat ialah sebagai upaya rasio untuk mengetahui hakikat semua prinsip-prinsip yang paling mendasar.
Kemudian, objek kajian dalam filsafat ini berbeda dengan ilmu lain, misalnya pada objek kajian ilmu sains. Dimana sains cukup dengan mempelajari berbagai gejala alam semesta, termasuk tata aturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan filsafat membahas asal-usul dan sebab-sebab keberadaannya. Seorang filosof, melalui pengkajian dan pembahasannya, memperbincangkan objek akal dan akal itu sendiri pada saat yang sama.
Berikut ini adalah bagian-bagian objek bahasan dalam filsafat:

  • Filsafat wujud (ontologi); bahasan tentang alam semesta dan sebab-sebab keberadaannya.
  • Filsafat Pengetahuan (epistemologi); bahasan tentang akal, termasuk rahasia, hakikat, dan kemam-puannya.
  • Filsafat nilai (aksiologi); bahasan tentang hakikat kebaikan, keindahan, dan keburukan.
Kemudian, dalam melakukan pengkajian terhadap segala pendapat atau persoalan tidak akan pernah sempurna dan benar kecuali setelah mempelajari lebih dahulu berbagai metode pengetahuan dan sarana-sarananya. Pembahasan epistemologi menjadi pengantar pembahasan ontologi dan merupakan sarana untuk mengetahui kebenaran dalam persoalan metafisika.
A.    PARA FILOSOF YUNANI
Para folosof yunani secara keseluruhan menunjukkan kecerdasan dan keihlasannya didalam pem-bahasan, namun masing-masing dari mereka mempunyai pandangan yang meremehkan dan meragukan alam semesta.
1.      Thales; berprinsip creatio ex nihilo, yakni alam tidak mungkin berupa sesuatu yang diciptakan dari ketiadaan mutlak. Setiap permulaan pada hakikatnya adalah perubahan. Oleh karena itu, mesti ada materi pertama yang menjadi sebab timbulnya semua eksistensi. Materi yang azali tersebut menurut Thales ialah air.
2.      Anaximenes; Menurut anaximenes, yang azali itu ialah udara. Dimana udara lebih lunak dari pada air dan lebih mudah berganti dari pada air.
3.      Anaximender; mengatakan bahwa sesungguhnya pendapat tentang air dan udara (sebagai asal-muasal segala sesuatu) tidak relevan dengan sifat-sifat semua yang ada. Menurut Anaximender asal-muasal semua yang ada ialah materi yang tidak berbentuk, tidak berkesudahan, dan tidak berbatas.
4.      Pythagoras; mengatakan bahwa air, udara, dan semua materi, bagaimanapun juga tidak pantas menjadi asal-mula alam yang tersusun dari benda yang berbeda-beda, baik materi maupun immateri. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang mempunyai sifat yang umum dan mencakup semua hal, baik materi maupun benda lainnya kecuali sifat angka (le nombre).
5.      Xenophanes; membuang sejumlah mitos yang berisi gagasan tentang bersatunya jasad manusia dengan Tuhan (antropomorfisme). Tidak ada Tuhan selain Yang Satu; Eksistensi Yang Paling Tinggi; Yang tidak tersusun seperti bentuk kita; Dan tidak berfikir seperti kita berfikir. Akan tetapi seluruhnya Dia lihat, dengar, dan Dia pikirkan. Sedangkan untuk mengetahui hakikat Tuhan yang Mahaesa dan Mahaagung, Xenophanes menganggapnya sebagai suatu hal yang mustahil bagi akal manusia. Xenophanes mengatakan didalam sejarah metafisika, tidak ada seorang pun yang sanggup mengetahui Tuhan dengan tepat.
6.      Parmenides; mengatakan bahwa semua sifat-sifat yang ada itu mengalami perubahan dan kahan-curan, kecuali satu sifat saja, yaitu sifat wujud (l’etre). Wujud yang abadi inilah yang dapat dijadikan sebagai asal semua yang ada. Permenides memandang bahwa semua yang kita lihat dan rasakan ini adalah sebagai gejala atau penampakan (apparences), karena ia hancur dan berubah-ubah. Sedangkan wujud adalah abadi. Dan sebaliknya, perubahan itu sendiri mengharuskan berkumpulnya wujud dan non-wujud.
7.      Milissus; mengatakan bahwa setiap yang baru pasti ada permulaannya. Sedangkan zat yang wujud tersebut tidaklah baru. Sebab, seandainya baru, tentu berasal dari zat yang bukan wujud. Jadi, yang wujud tersebut tidak ada permulaannya, dan tidak ada pula akhirnya. Karena ia tidak berakhir, berarti ia tidak bergerak, sebab tidak ada tempat sesudahnya untuk bergerak menuju tempat itu. Ia juga tidak berubah-ubah, jika ia berubah-ubah, berarti ia menjadi lebih dari satu. Oleh karena itu, ia adalah esa, azali, abadi, hidup, berakal, dan tidak berubah-ubah.
8.      Heraclitus; mengatakan bahwa segala sesuatu ialah seperti yang kita lihat, senantiasa barubah, berganti-ganti secara terus-menerus, dan tidak pernah tetap didalam suatu keadaan meskipun hanya sebentar saja. Suatu benda, biasa ada dan tidak ada dalam suatu saat yang sama. Kesatuan waktu antara yang wujud dan yang bukan wujud itu adalah akhir yang menjadi hakikat wujud. Kemudian, Heraclitus juga mengatakan bahwa asal-muasal alam semesta ini ialah api yang kemudian berubah menjadi kering, dan kering ini kembali lagi menjadi air, udara dan api.
9.      Empledocles; mengira bahwa wujud itu merupakan kumpulan dari empat unsur yaitu tanah, air, api, dan udara. Dan ia juga mengatakan bahwa gerakan benda adalah gambaran dari pertemuan dan perpisahan. Keduanya adalah suatu hal yang berlawanan, yang tidak timbul dari satu kekuatan. Dua kekuatan tersebut ialah cinta dan benci. Bahkan ia menganggap bahwa dewa-dewa dan jiwa-jiwa tersusun dari empat unsur. Api adalah dewa Zeus, udara adalah dewa Hera, bumi adalah dewa Arus, dan air adalah dewa keempat yang disebut Nestis. Ia juga mengatakan bahwa jiwa-jiwa manusia tidak lain adalah dewa-dewa yang membuat kesalahan; dewa-dewa yang diputuskan untuk menetap jauh dari orang-orang yang bahagia dengan bentuk jasad yang tidak abadi. Jasad-jasad itu muncul dari bumi menjadi kepala tanpa leher, menjadi tangan tanpa pundak, dan menjadi mata tanpa kening. Kemudian, ia saling berdekatan satu sama lain karena kekuataan cinta. Dan dari sini, terjadilah manusia.
10.  Demokritus; sebagai pencipta teori atom yang mengangkat tiga relitas dasar yaitu atom, keko-songan, dan gerak. Menurut Demokritus, alam semesta ini terdiri dari bilangan atom-atom yang tidak ada habisnya. Atom-atom ini serupa, sejenis, azali, abadi, dan bergerak dengan sendirinya didalam suatu kekosongan. Dari gerakan dan percampurannya, tersusunlah semua yang ada sehingga ter-ciptalah alam semesta. Segala yang wujud tidak bisa timbul dari yang bukan wujud, sebagaimana yang wujud tidak mungkin berubah menjadi tidak ada. Seandainya atom itu tidak berada di dalam kekosongan, ia tidak mungkin bergerak. Kemudian, Demokritus juga mengira bahwa gerak atom-atom itu merupakan akibat dari keniscayaan mutlak yang mendorong untuk bergerak, bertemu, berjalan dan bercampur.
11.  Anaxagoras; mengatakan bahwa mustahil kekuatan dari keniscayaan mutlak itu mampu mencip-takan keindahan dan tata aturan yang jelas pada alam ini. Kekuatan tersebut tidak menghasilkan apapun selain menimbulkan kekacauan. Zat yang menggerakkan benda tidak lain adalah akal, kesa-daran, dan pandangan yang bijak. Anaxagoras ini dianggap sebagai orang pertama yang membuka pintu filsafat spiritualisme dan datang dengan pemikiran yang masih membara disekitar kebenaran.
12.  Socretes; merupakan orang berjasa yang meletakkan dasar dan membangun filsafat pengetahuan (epistemologi). Socretes berusaha mengembalikan dasar-dasar pengetahuan kepada rasio, yang kepu-tusan-keputusannya disepakati oleh semua orang tanpa ada perselisihan. Kemudian, tidak lah rasional apabila pengetahuan bisa diperoleh hanya dengan indera, karena indera berbeda-beda ber-dasarkan perbedaan individu, suasana dan keadaan. Oleh karena itu harus ada sumber dasar yang pasti untuk pengetahuan yang tidak diperselisihkan untuk  selama-lamanya. Pengetahuan itu ialah pengetahuan yang universal dan rasional. Sehingga dapat dibuat suatu standarisasi yang benar dan permanen tentang kebenaran, dan juga mengetahui apa yang dimaksud dengan keutamaan.
13.  Plato; berpendapat bahwa makna yang universal bukanlah sesuatu yang bisa dicapai oleh indera, melainkan oleh akal semata. Dan bukanlah indera yang mengetahui keterkaitan, melainkan rasiolah yang mempertemukan dan memperbandingkan perkara-perkara sehingga ia dapat mengetahui. Namun, dalam hal ini rasio mesti mempunyai ide yang asli dan orasional tentang suatu perkara. Ide yang dimaksud oleh Plato adalah sesuatu yang universal yang mempunyai wujud hakiki dibalik akal pikiran manusia. Kemudian, plato juga mengatakan bahwa jiwa-jiwa manusia sebelum menitis kedalam jasad, telah hidup di dunia ide. Ketika jiwa telah menyatu kedalam jasad, ia agak melupakan dunia ide. Ilmu ialah upaya untuk mengingat-ingat ide, sedangkan kebodohan ialah keadaan lupa terhadap ide. Sementara pengalaman didalam kehidupan dunia, tidak lain merupakan wasilah untuk membangunkan dan mengigatkan akal terhadap apa yang diketahui sebelumnya didunia ide.
Plato mengatakan bahwa ide tersebut bukanlah materi, melainkan pengertian yang abstrak. Unsur-unsur dan keberadaannya berasal dari dirinya sendiri, bukan dari hal yang diluarnya. Dunia ide menjadi dasar segala sesuatu. Ia tidak bersandar pada suatu perkara yang lain, tetapi yang lain itu bersandar padanya. Ide bersifat langgeng, permanen, abadi, diam, sempurna dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.  
Plato termasuk salah seorang filosof pertama yang berbicara tentang eksistensi Tuhan. Ia berpendapat bahwa alam ini merupakan suatu tanda keindahan dan keteraturan. Selamanya, alam ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, melainkan ia adalah ciptaan zat yang berakal, mahasempur-na, pemilik kebaikan, dan pengatur segala sesuatu berdasarkan suatu maksud dan hikmah tertentu.
Akan tetapi, ketika menggambarkan bagaimana Tuhan membuat alam ini, akal plato terben-tur dan tidak sanggup membayangkan bagaimana makhluk tercipta dari ketiadaannya. Oleh Karena itu Ia mengatakan bahwa semua makhluk tersusun dari materi dan bentuk. Bentuk inilah yang mem-buat materi menjadi bentuk tertentu. Bentuk ini pula yang merupakan akibat dari adanya ide-ide yang memberi corak dan bentuk tertentu pada sesuatu. Zat yang memberi corak yang sesuai dengan idenya sehingga materi itu menemukan bentuknya setelah sebelumnya tidak ada, maka itulah Tuhan.
14.  Aristoteles; merupakan seorang filosof yang terbesar dan pencipta ilmu logika dan mendapat gelar sebagai Guru Pertama. Namun pada akhirnya ia juga tergelincir ketika hendak memasuki rahasia penciptaan. Aristoteles berpendapat bahwa langkah yang harus dilalui oleh pikiran untuk menuju jalan pengetahuan ialah dengan kesadaran inderawi, perbandingan, perenungan dan pemberian alasan, analogi, pengambilan kesimpulan, hingga pemberian keputusan. Kemudian, Aristoteles men-gatakan bahwa materi itu qadim, materi itu mustahil tetapi merupakan sesuatu yang tertentu. Materi tidak lain hanyalah gambaran dari kemampuan menerima atau gambaran dari ketiadaan. karena materi tidak mempunyai sifat, selain sifat yang diambil dari bentuk. Dan materi itu tidak lain adalah sesuatu yang berpotensi.
Aristoteles mengatakan alam itu qadim karena keyakinannya akan qadimnya gerak. Dan se-bab pertama adanya gerak adalah Tuhan Yang Permanen, yang mempunyai kekuasaan sejak zaman azali.
15.  Epicurus; merupakan tokoh aliran epicurisme yang mengatakan bahwa kita sesungguhnya bisa tertimpa kesalahan manakala kita melampaui batas yang dibawa oleh pancaindra. Kemudian Epicurus mengambil pendapat Demokritus. Dimana menurutnya sebab dari gerak terletak di dalam atom-atom itu sendiri, yaitu beratnya. Karena berat ini atom-atom itu bergerak ke bawah, tetapi agak mirip sedikit, dan jatuh. Sehingga atom-atom itu bertemu dan membentuk susunan-susunan. Dan kehidupan ini semuanya timbul dari pementukan susunan-susunan  ini secara kebetulan.
16.  Aliran Neo-platonisme oleh Philo (20 SM–54 M) dari Iskandariah yang diperbaharui oleh Plotinus (207-240 M); akal dan wahyu, yang merupakan intergrasi antara filsafat plato dengan Agama Nasrani. Dan inti sari filsafatnya ialah sebagai berikut: Alam ini banyak gejalanya dan selalu berubah. Pencipta alam ini adalah Tuhan. Dia melampaui benda dan ruh. Karena tidak ada persamaan sama sekali antara Dia dengan segala sesuatu, berarti Dia tidak mungkin diberi sifat kecuali dengan sifat-sifat negative. Dia bukan meteri, tidak terhingga, sempurna dan tidak memerlukan segala sesuatu. Dan hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal.
Meskipun filsafat berjalan kearah kebenaran dengan langkah yang lambat. Kadang-kadang ia dirintangi oleh kaum Skeptis seperti orang Sofis. Kata sofis/sofisme; suatu metode yang ditempuh untuk memutarbalikkan kebenaran oleh mereka yang pandai mengajari manusia melalui perdebatan bohong. Kaum sofis muncul sebagai suatu kelompok pendidik di Yunani di dalam suatu kondisi sosial yang tengah dilanda gelombang keragu-raguan (skeptisme), keingkaran terhadap dewa-dewa lama (mitologi), serta gelombang demokrasi.
Orang sofis yang sangat terkenal adalah Protagoras dengan perkataannya, “manusia adalah para meter segala sesuatu” (Man is the measure of all things). Dan juga Georgias yang menyatakan tentang mus-tahilnya manusia mencapai pengetahuan serta tukar menukar sains dan pikiran. Kemudian ada lagi penganut skeptisisme baru yang inti sari pendapat mereka ialah sebagai berikut:
Sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada, kita hanya dapat mengetahui berbagai gejalanya saja. Yang tanpak pada kita dalam bentuk yang berbeda-beda. Kita tidak mempunyai alat untuk membedakan antara pikiran yang benar dan pikiran yang salah. Pancaindera kadang menyesatkan, demikian juga dengan persepsi-persepsi indera. Ia berbeda-beda menurut perbedaan suasana, korteks, dan keadaan orang yang mengetahui, serta perbedaan objek yang diketahui. Selanjutnya ada lagi, yaitu pendapat para penganut skeptisisme mederat yang disebut dengan “kaum serba mungkin” (kaum probabilis).

BAGIAN KETIGA
B.     FILOFOF MUSLIM
Semua filosof muslim telah menggabungkan keimanan terhadap wahyu yang benar dengan keya-kinan terhadap akal yang lurus, dan mereka menggabungkan cahaya dengan cahaya. Akan tetapi, mereka telah dicengkram oleh kebohongan-kebohongan dan khayalan-khayalan neo-platonisme tentang proses penciptaan dan perantara-perantaranya. Dan penghargaan mereka terhadap Guru Pertama, tanpa didasari oleh sikap kritis.  
1.      Ar-Razi; mengatakan eksistensi akal pada sebagian makhluk hidup dan kesanggupannya untuk meneliti pekerjaannya menunjukkan adanya pencipta yang menciptakan sesuatu dengan sebaik-baiknya.
2.      Al-Farabi; mengatakan bahwa ilmu terbagi ke dalam konsep mutlak dan konsep yang disertai dengan pembenaran. Pembuktian Al-Farabi tentang eksistensi Allah ialah eksistensi secara relative dan eksistensi secara absolute. Kemudian, al-Farabi juga mengatakan, karena Allah adalah eksistensi yang Mahasempurna, maka pengetahuan kita tentang Dia mesti merupakan pengetahuan yang paling sempurna pula.
3.      Ibn Sina; mengatakan bahwa persepsi makhluk-makhluk hewani ada kalanya bersifat lahiriah dan batiniah. Persepsi lahiriah terjadi karena adanya indera yang lima. Dan dibelakang perasaan lahiriah-nya terdapat jaringan dan urutan untuk menerima gambaran yang dilaporkan oleh alat indera, yaitu kekuatan fantasi , kekuatan imajinasi, kekuatan memori, dan kekuatan berfikir. Kemudia, Ibn Sina juga mengatakan indera tidak bisa mencapai pengertian murni dan bentuk, kecuali pada benda serta pada hal-hal yang berhubungan dengan benda seperti kuantitas, kualitas, tempat, dan keadaan. Ruh manusia lah yang dapat menggambarkan pengertian beserta batas dan hakikatnya, yang dibersihkan dari atribut-atribut asing, serta yang diambil dari tempat umum yang disebabkan oleh rasio abstrak. Untuk mencari eksistensi Allah, kita tidak mesti mencari pembuktian melalui salah satu makhluk-Nya. Akan tetapi, kita seharusnya dapat menarik kesimpulan dari setiap kemungkinan. Menurut Ibn Sina, kata al-qidam dapat didefinisikan dengan qadim analogis dan qadim mutlak.
4.      Ibn Miskawayh; berpendapat tentang etika, epistemologi, dan ontologi. Menurutnya, indera hanya mampu mengetahui objek-objek inderawi semata. Sedangkan jiwa bisa mengetahui sebab-sebab adanya persesuaian dan perbedaan yang terdapat pada objek-objek inderawi. Kemudian, Ia memilah-milah pandangan tentang pengetahuan inderawi dan pengetahuan akal secara teliti, sangat menarik dan relevan. Secara ontologi, Miskawayh mengakui bahwa alam ini adalah makhluk. Dan Allah lah yang menciptakannya dari ketiadaan.
5.      Ibn Thufayl; memperkuat pendapat Ibn Miskawayh didalam kisah tentang iman dan akal. Dan Ia berhasil melukiskan pertemuan antara pentelidikan akal murni dan dan wahyu didalam kisahnya Hayy Ibn Yaqzhan. Didalam kisahnya ini hendak dijelaskan beberapa kebenaran, yaitu:

  • Sejumlah tahapan yang ditempuh oleh akal pada tangga pengetahuan adalah dimulai dari objek inderawi yang particular menuju pemikiran yang universal.
  • Tanpa pengajaran dan petunjuk apapun, akal manusia dapat mengetahui eksistensi Allah melalui tanda-Nya yang ada pada semua makhluk-Nya. Dan menegakkan dalil yang benar atas eksistensi-Nya.
  • Akal terkadang mengalami ketumpulan dan ketidakmampuan di dalam mengemukakan dalil-dalil.
  •  Akal sebetulnya senantiasa menyakini akan satu hal, yaitu eksistensi Allah.
  • Dengan akal manusia dapat mengetahui prinsip-prinsip moralitas, etika, sosial, serta penghiasan diri.
  • Segala sesuatu dipersatukan oleh akal tanpa adanya perselisihan.  

     6.      Ibnu Khaldun; Ibnu khaldun adalah seorang ilmuan besar yang penelitiannya luas dan pemikiran-nya cemerlang. Ia menerbitkan karyanya yang monumental dibidang sejarah, yaitu Muqadimah. Para ilmuan barat menyebut ibnu khaldun sebagai peletak dasar filsafat kebudayaan.
Menurut pendapat ibnu khaldun, pengetahuan asalnya hanyalah objek-objek yang terindera. Dan Ia mengatakan bahwa konsep-konsep akal, meskipun dikembalikan pada sejumlah sebelumnya, namun tidak semua konsep yang masuk kedalam jiwa itu dapat diketahui sebabnya. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui prinsip-prinsip didalam soal-soal kejiwaan dan urut-urutannya. Dan jangan percaya terhadap anggapan-anggapan akal bahwa ia mampu mengetahui semua keadaan disekitar alam semesta, sebab-sebabnya, serta mengetahui perincian eksistensi keseluruhan. karena semua eksistensi bagi setiap orang yang mengetahuinya, terbatas pada apa-apa yang diketahuinya itu. Namun kebenaran tetap berada dibelakangnya.
Keadaaan demikian tidak berarti menodai nilai-nilai akal dan pengetahuan, karena akal adalah timbangan yang benar, keputusannya pun bisa memberikan keyakinan dan tidak mengandung unsur kedustaan. Akan tetapi, akal tidak sanggup mengukur soal-soal ketauhidan dan semua hal yang mustahil tewujud.
Pendapat ibnu khaldun tentang eksistensi: sesungguhnya semua hal yang baru didunia ini, baik berupa benda atau perbuatan, mesti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Masing-masing dari sebab ini pun adalah sesuatu yang baru, yang mesti ada sebab-sebab lain bagi keberadaannya. Demi-kianlah sebab-sebab tersebut menuju ‘sebab dari segala sebab’. Dialah yang menciptakan segala sebab itu, yaitu Allah yang MahaSuci, yang tiada Tuhan selain-Nya.
BAGIAN KE EMPAT
Oleh Hayy ibn Yaqzhan dan bersama Absal dan Salman menyatakan bahwa seluruh hikmah, hida-yah, dan taufik terdapat pada apa yang diucapkan oleh para rasul dan apa yang tercantum didalam syariat. Setiap perkara ada ahlinya, dan setiap orang adalah mudah memperoleh apa yang disediakan baginya.
Pada akhirnya mereka beriman kepada perkara-perkara mutasyabihat, dan menerima semua ayat-ayatnya. Menjauhi pendalaman sesuatu yang tidak memberi manfaat, meninggalkan bid’ah dan hawa nafsu, serta mengikuti ulama-ulama salaf yang salih. Hayy ibn Yaqzhan mengatakan bahwa apabila semakin tinggi menuju puncak pemikiran, maka urusan agama akan membingungkan mereka sendiri. Mereka akan bim-bang, terpelanting, dan menderita akibat buruk. Akan tetapi, apabila mereka tetap berpegang pada perkara agama sebagaimana yang telah mereka lakukan, mereka akan berbahagia.
BAGIAN KELIMA
7.      Al-Qhazali; mengatakan bahwa sikap menolak sebuah mazhab sebelum memahami dan menelaah hakikatnya berarti bersikap menolak didalam kebutaan. Al-Qhazali menelaah berbagai pendapat para filosof ketuhanan, sebelum membantah mereka. Didalam bukunya yang berjudul Maqashid al-falasifah (orientasi para filosof) dan Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof). Kemudian, al-qhazali berkesimpulan bahwa tidak ada satupun yang dapat mengantarkan kepada derajat yang dapat meyakinkan selain semua hal yang dapat ditangkap oleh indera dan akal. Namun ia sadar bahwa indera itu terkadang menipu dan dusta. Dan yang menipu tersebut adalah akal.
Sangat mustahil jika dikatakan bahwa sebelum masa itu tidak ada suatu tujuan, karena alat untuk menciptakan belum ada. Dan mustahil juga bila dikatakan bahwa Allah sudah memiliki kehen-dak untuk menciptakan alam sedang Ia belum memiliki kehendak sebelumnya. Sebab, terjadinya hal yang demikian itu mustahil adanya pada Zat Tuhan.
8.      Ibn Rusyd; bersepakat dengan al-Ghazali didalam semua pemikiran tentang wujud, makhluk dan khaliq. Akan tetapi, ia juga menentang berbagai pendapat al-Ghazali sebagaimana yang terdapat didalam bukunya yang sangat popular, yaitu Tahafut At-Tahafut (kekacauan dalam kitab Tahafut).
Sesungguhnya ibn Rusdy adalah seorang ulama besar, seorang filosof dan salah seorang pemikir muslim yang lurus. Ibn Rusdy sangat menyukai filsafat Aristoteles. Dan ia pernah memberi komentar tentang filsafat Aristoteles tersebut.
Komentar yang pertama bersifat ringkas dan hanya berisi komentarnya sendiri. Dan komentar yang kedua bersifat menengah pada masing-masing permulaan yang disertakan beberapa paragraf dari kata-kata Aristoteles dan juga lengkap dengan pendapatnya sendiri. Komentar yang ketiga bersifat panjang, lengkap dan memadai. Akan tetapi, keterangan yang sebenarnya ialah ibn Rusdy hanya berupaya menafsirkan kata-kata Aristoteles semata.
Kemudian, ibn Rusyd mengakui ketidakqadiman alam sebagai yang dijadikan oleh Allah, baik materinya yang asli maupun bentuknya yang sekarang. Namun demikian, ia berusaha untuk membuat jarak, baik dengan pemikiran para teolog muslim maupun dengan pendapat Aristoteles. Dan pemikiran ibn Rusyd juga terbentur pada kesulitan menggambarkan arti creation ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) dan arti “wahyu”. Pada akhirnya, ia kembali merujuk kepada Alquran. Sehingga di dalam bukunya yang berjudul Fashl al-Maqal mengatakan “Sesungguhnya firman Allah: Dia lah yang menciptakan langit dan bumi di dalam enam masa, dan adalah Arsy-Nya diatas air (QS 11:7), secara eksplisit menyatakan adanya suatu wujud sebelum adanya alam ini, yakni Arsy dan air, serta adanya suatu waktu sebelum waktu yang ada sekarang. Firman Allah yang berbunyi: Kemudian, Dia menuju langit, sedangkan langit itu masih merupakan asap. (QS 41: 11), secara eksplisit menunjukkan bahwa langit-langit itu terbuat dari sesuatu.
Ibn Rusyd kembali berkata: mereka yang berpolemik di dalam perkara-perkara yang rumit mesti lah diperlakukan sama, baik sebagai orang-orang yang mencapai kebenaran dan memperoleh pahala, ataupun sebagai orang-orang yang jatuh di dalam kekeliruan namu ia dapat dimaafkan. Sebab pada dasarnya, mereka membenarkan sesuatu melalui dalil yang tertaman di dalam jiwa sebagai sesuatu yang bersifat otomatis dan bukan bersifat pilihan lagi. Kita tidak bisa menafikan atau membenarkan adanya sesuatu. Seandainya pilihan menjadi syarat pertanggungjawaban, berarti seorang pencari kebenaran yang jatuh kedalam kekeliruan bisa dimaafkan apabila ia termasuk ahli ilmu. Perdebatan ibn Rusdy hanya untuk menunjukkan kepandaiannya saja dan membela para filosof.
Ibn Rusyd mengingkari eksistensi kepribadian individu seorang manusia. Dimana kepri-badian tersebut akan hancur bersamaan dengan hancurnya jasad. Namun, ia menyakini dan membenarkan adanya hari kebangkitan, serta mencap “zindiq” bagi mereka yang mengingkarinya. Sesungguhnya kehidupan yang lain terjadi dengan terciptanya jasad yang baru. 
9.      Thomas Aquinas; membatasi pengertian kepribadian sebagai campuran yang terdiri dari badan dan jiwa. Ia menganggap badan dan jiwa itu identik dengan hakikat yang tunggal dan dipersatukan. Dan jiwa itu juga identik dengan esensi yang tidak bermateri. Jiwa adalah ruh yang dibangkitkan oleh Tuhan di dalam diri kita. Jiwa hanya lah bayangan yang tidak memiliki potensi dan tidak dapat melakukan pekerjaan tanpa adanya jasad. Ia tidak membentuk kepribadian tersendiri yang kekal kecuali ia telah kembali untuk menyatukan diri dengan jasad. Kemudian, potensi ruhani tetap abadi meski jasad telah hancur.
Pendapat Thomas Aquinas tentang wujud Allah dan penciptaan-Nya terhadap alam: Akal kita memperoleh pengetahuannya dari indera. Namun, akal yang dijadikan Allah didala diri kita merupa-kan potensi pengatur yang dapat mengatur kegiatan-kegiatan indera serta mengubahnya menjadi pikiran-pikiran yang universal dan abstrak. Akan tetapi, pengetahuan akal yang spontan itu terbatas pada alam indera, dan tidak termasuk kedalam kesanggupannya untuk dapat mengetahui secara langsung alam non-inderawi dan alam metafisik. Meskipun demikian, ia memiliki kemampuan untuk memperoleh pengetahuan tidak langsung melalui metode perbandingan dan analogi.
Tentang ketidakqadiman alam Thomas Aquinas mengatakan, Adanya Tuhan dapat dibuktikan dengan sebab-sebab alamiah, antara lain bahwa semua gerakan yang ada timbul dari berbagai gerakan sebelumnya. Dan tentang dalil Eksistensi Mutlak, ia mengatakan “apa yang ada di alam adalah termasuk bagian yang berwujud relatif. Ia bisa terjadi, tetapi tidak harus terjadi. Relatif ini harus bersandar pada esensial mutlak, yaitu Zat yang mesti ada (wajib al-wujud), yakni Tuhan.
Pada akhirnya, Thomas Aquinas setuju dengan al-Ghazali. Sehingga ia mengatakan pem-bahasan tentang persoalan penciptaan hampir tidak ada artinya, karena waktu (zaman) belum lagi ada sebelum adanya alam. Waktu tidak mungkin digambarkan tanpa adanya gerakan dan perubahan”. Bahkan Aquinas mengikuti jejak al-Qhazali yang mengatakan: Walaupun proses penciptaan alam terjadi pada zaman azali, namun ia mengandung iradah. Dan dari iradah inilah ditentukan waktu yang dikehendaki oleh Tuhan untuk menciptakan alam.       

Semua akal yang sehat, ditinjau dari segi medan akal yang bersih dari campuran-campuran hawa nafsu, sepakat mengakui adanya Tuhan dan menetapkan dengan tegas bahwa Tuhan itu Mahaesa, tidak berbilang, dan tidak berubah-ubah. Semua akal pun menyepakati berbagai metode pembuktian yang didasar-kan atas kebenaran dan tidak mengandung keraguan sedikit pun didalamnya. (Menurut Syaikh al-Mauzun, hal: 152).   
BERSAMBUNG…??

Banda Aceh, 11 Juni 2012